Monday, August 29, 2011

LILIN YANG MENYALA

"Ya Bapa, kemana saya harus pergi?"

Saya berdiri sendiri di jalan Samanabad sambil berusaha menahan air mata karena goncangan dan kepedihan pada peristiwa yang baru kualami, lalu memandang ke atas ke bawah mencari petunjuk tentang tindakan apa yang saya ambil berikutnya. Namun, sepanjang jalan besar itu sepi dari lalu lintas dan keadaan deretan bungalow sepi di belakang dinding-dinding tinggi disinari cahaya matahari tipis dan tidak menunjukkan kehidupan mewah di belakangnya. Rasanya, secara refleks saya berbalik kekanan lalu mulai berjalan menelusuri trotoar yang dilapisi semen menuju kearah penantian bis yang jauhnya hampir 2 km.

Waktu tiba di sana, hatiku sudah bulat - John dan Bimla Emmanuel, seorang tukang kebun di kantor walikota, tinggal di Medina colony bersama istri dan 4 dari 5 anaknya. Keluarga ini menjadi jemaat dari Gereja di jalan Warris. Mereka pernah mengajakku ke rumahnya sekali atau dua kali dan saya merasa senang di sana, bercerita pada mereka tentang Tuhan dan Kuasa menyembuhkan dan menyelamatkannya.

Mereka pernah berkata padaku, "Datanglah ke rumah kami setiap waktu, rumah kami terbuka bagimu." Di tempat perhentian bis ada beberapa jenis transportasi, saya menggunakan rickshaw (sejenis becak) ke Muzang Chungi dan dari sana dengan minibis yang trayeknya Gurumangat. Dari sini berjalan kaki sedikit melintas rel kereta saya tiba di Medina Colony. Saya memilih berjalan sepanjang lorong yang bekas dilewati roda, berabu, di antara rumah-rumah. Menghindari got-got terbuka yang mengalir ke arah sebuah ‘houdi’ atau tempat penampung kotoran manusia di dekatnya. Di rumah John Emmanuel, saya memegang ujung ‘kunda’ yang tergantung di luar dan mengetukkannnya ke pintu kayu berlapis ganda di dinding yang tinggi itu.

Tak lama kemudian Bimla membukanya, menatapku dengan heran lalu mempersilahkan saya masuk. Kuceritakan sedikit padanya tentang apa yang sudah terjadi dan memohonkan bantuan untuk memondokkan sementara. Ia melihat saya sedang gemetar lalu memelukku, "Anda diterima dengan hati yang sangat terbuka untuk tinggal bersama kami dan apapun yang kami miliki, andapun dapat turut menikmatinya bersama-sama."

Ketika John Emmanuel pulang sore harinya dengan sepeda, ia mendengarkan ceritaku dengan prihatin. "Jangan kuatir, saya adalah saudaramu dalam Kristus," katanya meyakinkan saya. Pikirku, betapa anehnya perasaan ini dapat kurasakan terhadap seseorang yang bukan anggota keluargaku dan kehangatan terasa mengalir mendengarkan ke prihatinannya. Ternyata, persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya pada Kristus dapat mengikat pengikutpengikutnya dengan ikatan yang lebih kuat dari ikatan darah atau hasil perkawinan.

Rumah yang mereka sewa itu kecil, terdiri atas sebuah kamar tidur dan serambi. Pada satu sisi serambi ini ada dapur dan di sisi lainnya kamar kecil. Saya mengira-ngira dimana saya akan tidur, nyatanya bersama anak-anaknya, yang sulung 8 tahun, di serambi. Tempat ini ditutup dengan gordin sehingga berubah menjadi sebuah kamar dengan hawa yang lebih sejuk. John dan Bimla tidur di halaman dan hal ini biasa di lakukannya kalau rumahnya kecil dengan keluarga besar. Tidak ada rumput atau bunga-bungaan - tidak ada tempat untuk menanam sesuatu apapun. Dasar halamannya tanah liat yang keras bercampur jerami, dibersihkan dengan baik sehingga merupakan bagian tambahan dari rumah itu. Tapi ada tanaman di dalam pot-pot untuk menyemarakkan tempat itu. Akomodasi yang sederhana dibanding dengan kesenangan yang saya tinggalkan tapi rasanya hatiku senang sekali memiliki perasaan bebas untuk mengambil Alkitabku dan membacanya secara terbuka serta mengadakan persekutuan doa dan mempelajari Alkitab bersama John dan Bimla. Untuk dapat sampai ke tahap ini saya malah sudah menantang maut. Walaupun begitu, di malam pertama, sambil tidur di atas ‘charpai’ di bawah selimut pada udara terbuka, saya tidak dapat tidur karena belum terbiasa dengan keadaan sekelilingku sebab pikiran-pikiranku menerawang dan adanya bunyi-bunyi di malam hari yang menggangguku.

Di daerah itu orang-orang cepat tidur agar dapat segera bangun sebelum matahari terbit guna mempersiapkan perjalanan mereka ke kota untuk bekerja. Namun, sewaktu kesibukan sehari-hari dan bunyi-bunyian pompa air berhenti, keadaan menjadi sunyi senyap lalu diganti oleh bunyi lain yang menggelitik saya untuk mencari tahu sumber asalnya. Terdengar bunyi berdenyit dan tikus-tikus berlarian di belakang rumah-rumah itu saluran gotnya buruk sehingga terjadi genangan-genangan air tempat kodok berkelompok bergembira ria bersahut-sahutan dengan ributnya dan jangkrik bernyanyi di semak-semak. Tidak ada kelambu untuk melindungi diriku dari dengungan nyamuk yang menari-nari dengan tebalnya di sekelilingku. Bunyi gemerisik kecil di atas atap jerami membuat saya berpikir-pikir apakah cecak atau kakarlak yang mungkin akan jatuh menimpa kepalaku. Saya merasa iri pada anak-anak yang tidur dengan eloknya. Suara napasnya yang lembut menjadi lebih keras dan makin saya campur adukan bunyi-bunyi ini, kedengarannya laksana deburan ombak di kejauhan. Saya berusaha menutup telingaku rapat-rapat dan mengalihkan pandanganku ke langit cerah yang terlihat olehku dari bawah atap serambi. Saya mencoba agar dapat tidur dengan cara menghitung bintang yang berkedip-kedip namun malah hanya membuat saya lebih tidak bisa tidur lagi. Lalu bulan yang sendirian muncul ke panorama pemandanganku, memandikan sekitarnya dengan cahaya misterius yang begitu dicintai oleh para penyair dan orang-orang yang dilanda asmara. Lalu angin yang sombong laksana ‘Nawab’ yang merasa iri, dengan sombongnya mengumpulkan awan-awan yang tadinya masih tercerai berai menutup bulan itu dari pandangan mata yang masih merindukannnya. Saya menikmati pemandangan bulan dan bintang-bintang yang menari-nari di angkasa melewati penggantian waktu dan merasakan goncangan dan kesedihan atas berlalunya hari yang menuju kesuatu titik tujuan yang lebih pasti.

Saat ini merupakan bagian dari waktu dimana saat-saat kehidupan campur-baur
yang berlangsung selama kehidupan ini. Saya melihat diriku sendiri, Gulshan
Ester, miskin dan dibenci oleh orang-orang yang seharusnya mencintaiku dan
telah berpaling dari pintu rumah mereka, kini telah bebas dari beban-beban
yang merintangi. Kerudung kehidupan agamawi yang saya warisi sebelum ini,
yang kurasakan pernah memisahkan saya dari satu Allah yang tidak dapat
diketahui oleh seorang pun telah dikoyakkan, diungkapkan dalam wujud Yesus
Kristus, Tuhanku. Sekarang jalan pemuridan telah terbentang dan apakah
menyenangkan atau menyakitkan, harus kujalani dalam ketaatanku. Tapi saya
tidak sendirian. Ada satu yang menyertai saya, saya kuat dan akan memenuhi
semua kebutuhanku.

Dengan rasa mengantuk saya menatap ke langit yang memudar warnanya
menelan bintang-bintang dan menampilkan bintang pagi, kebanggaan fajar.
Sambil memikirkan Yesus, Fajar Pagi Pengharapanku yang diutus Tuhan untuk
menerangi hidupku, akhirnya saya tertidur pulas tanpa terganggu apa pun walau
hanya untuk waktu yang pendek.

Saya terbangun, mataku berat tertimpa sinar pagi yang cerah, ketika si Gundu,
bocah berusia 4 tahun menarik tanganku. Bahkan ketika saya berusaha untuk
mencuci dengan air dari pompa di halaman, saya terkenang akan pikiran yang
telah terbentuk semalam - saya perlu berpikir untuk mencari kerja sebab saya
tidak dapat mengharapkan bahwa kawan-kawanku dapat bertahan untuk
membiayai saya.
Kepala Sekolah wanita dari sekolah swasta untuk para gadis memandang saya
dari atas ke bawah ketika saya berdiri di kantornya dengan perasaan bingung di
hadapan wanita yang dingin tapi cekatan ini yang memiliki kharisma
kewenangan. Namun saya pun berketetapan hati. Beliau membetulkan syalnya
dan berkata dengan sopan, "Selamat pagi nyonya. Apakah saya dapat menolong
anda? Apakah anak anda bersekolah di sini?"
"Tidak, saya tidak mempunyai anak yang bersekolah disini. Saya datang untuk
mencari tahu apakah ibu membutuhkan seorang guru di sekolah ibu."
Ekspresinya berubah dari sikap sopan-santun karena ingin mencari tahu menjadi
agak merendahkan diri. Terlihat olehku bahwa cara pendekatan langsung seperti
ini dinilai kurang wajar. Sebenarnya saya harus menulis lamaran bukannya
datang sebagaimana seorang pembantu atau tukang kebun mencari pekerjaan.
"Mata pelajaran apa saja yang dapat anda ajarkan dan kwalifikasi apa yang anda
miliki?"
"Saya dapat mengajar bahasa Urdu, pengetahuan agama Islam, sejarah, ilmu
bumi dan matematika sampai tingkat pra-universitas."
Beliau memandangku dengan tajam seakan-akan menyusun pendapatnya,
"Seorang guru yang pandai untuk para gadis," katanya,"namun sayang sekali
lowongan yang ada telah terisi dan saya tidak dapat menerima anda, tapi jika
anda meninggalkan nama dan alamat pada sekretaris, saya akan menghubungi
bila ada lowongan pekerjaan nanti."

Beliau bangkit dari belakang kursi yang berat kelihatannya untuk mengantar
saya keluar, tapi saya masih saja berdiri, merasa sedih sekali.
"Apakah ibu mungkin tahu kalau ada anak gadis yang memerlukan guru pribadi
di rumah karena sesuatu alasan, barangkali sakit, atau orangtuanya tidak
mengijinkan anaknya ke sekolah?"
"Maaf, saya tidak tahu. Tapi jika saya tahu maka anda akan kuberitahu bila
nama dan alamat anda ditinggalkan pada sekretaris."

Selama 2 atau 3 minggu saya telah bolak-balik ke kota, melewati Red Fort untuk
mencari kerja, menjajakan kwalifikasiku dari satu sekolah ke sekolah yang lain,
seakan-akan seorang penjaja-keliling. Saya memperoleh alamat-alamat itu dari
Kantor Penempatan Tenaga dan para petugas biasanya terkejut karena
lamaranku. Saya merupakan teka-teki bagi mereka, seorang wanita muda dari
keluarga baik-baik, tangannya terlihat kurang memenuhi syarat untuk bekerja,
ternyata tidak ditunjang oleh keluarganya.

Berulang kali John dan Bimla meyakinkan saya tentang dukungan mereka tapi
saya tahu bahwa saya merupakan beban untuk seorang yang mempunyai gaji
kecil seperti dia. Jadi saya berdoa memohonkan lowongan pekerjaan dan saya
menelusuri jalan- jalan di bawah terik matahari, sepatuku bolong dan bila timbul
perasaan marah atau kecil hati maka saya teringat pada Yesus dan bagaimana
ia menapak jalan-jalan itu untuk mati di atas kayu salib bagiku.

Ketika untuk keempat kalinya saya pergi ke Kantor Penempatan Tenaga, saya
mendengar bahwa sebuah majalah mingguan yang berkantor di pasar Ol
Anarkali membutuhkan seorang wartawati. Saya tahu nama Anarkali, bunga
delima, sama dengan nama seorang pahlawan wanita yang terkenal dalam
sejarah kami. Dia dipakukan secara tragis ke tembok hidup-hidup oleh seorang
‘mghul’ (kaisar) padahal ia tidak bersalah. Si wanita itu jatuh cita dengan
saudara sedarahnya bernama Salim. "Seorang gadis malang dan sedang
menghadapi bahaya," pikirku dan mencoba mengingat apakah terdapat gejala
untuk menerima hukuman seperti wanita itu. Mungkin tidak karena ia adalah
anak kaisar tersebut.
Majalah itu pernah kulihat, seingatku mempunyai 4 halaman, ada gambargambar
berwarna dari orang-orang terkenal dan agak berbau politik. Keadaanku
yang sulit, membuat saya kuat dan memohon untuk diwawancarai. Besoknya
jam 10 pagi saya datang ke lantai satu di kantor majalah itu di Old Anarkali.
Penerbitnya berperawakan tinggi, lelaki yang tampan berkulit terang memakai
jas hitam yang tidak tebal dan sangat sopan.
"Silahkan duduk," katanya sambil menunjuk ke sebuah kursi yang terletak agak
jauh dari mejanya yang mengkilap diatas permadani berbentuk segi empat. Ia
membunyikan bel dan meminta minuman pada seorang pria muda yang datang
membawakan coca-cola dingin bagiku. Minuman ini dihidangkan dalam sebuah
botol di atas jerami. "Saya ingin tahu kenapa anda membutuhkan pekerjaan,"
katanya dan giginya yang putih kelihatan waktu tersenyum.
Saya menjawab, "Saya yatim piatu dan saya berpendidikan. Saya ingin
mendapat gaji sendiri." Sebuah pena dengan ujung emas di atasnya dimainmainkannya,
dan tercium bau harum olehku mungkin dari parfum ‘after shave’
yang dipakainya.
"Tapi ceritakan padaku", katanya, "kenapa kakak-kakakmu tidak membantumu
agar anda tidak perlu bekerja?"
"Oh mereka semua telah bekerja dan tinggal di rumahnya masing-masing dan
saya tidak mau menjadi beban bagi mereka karena itulah saya memerlukan
pekerjaan."

Ia juga ingin tahu ke mana saya telah melamar dan kuceritakan padanya lamaran- lamaranku untuk mengajar yang menemui kegagalan. Cahaya yang menembus gorden bercorak kota-kotak tipis menimpa wajahku waktu kami berbicara dan saya melihat bahwa ia sedang melihat padaku dengan cermat.

Lalu ia berketetapan hati tentang diriku, perasaanku cukup cepat.
"Anda dapat mulai besok. Datanglah antara jam 08.30 dan 09.00 pagi dan jangan kuatir saya akan memberikan padamu beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan waktu melakukan wawancara. Anda harus bekerja keras dan bekunjung ke rumah- rumah atau kadang-kadang ke sekolah-sekolah."
"Saya cukup berpengalaman mengunjungi rumah-rumah orang," pikirku, tapi
tidak kuutarakan.
Ia menjelaskan bahwa gaji pokokku sebesar 100 rupee sebulan. Jumlah ini akan
ditambahkan pendapatan yang diperoleh dari para wanita yang membayar untuk
wawancara pribadi. Prinsipnya ialah jika mereka membayar maka mereka bebas
mengutarakan apa yang akan dikatakannya. Saya mendapat 20% dari jumlah
itu. Ini merupakan sistim yang lebih menguntungkan mereka dibanding dengan
bagianku, tapi saya tidak punya kekuatan untuk tawar menawar.
"Anda bukan beragama Islam," katanya.
Lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. "Saya beragama
Kristen," jawabku, lalu menunggu cukup lama rasanya dengan berdebar selama
ia merenungkannya.

Akhirnya sambil memasukkan pena ke kantung jasnya ia bangkit dari kursinya
dan berkata, "Baiklah, bukan masalah besar. Anda kelihatannya terpelajar
seperti yang anda katakan dan tidak takut berhadapan dengan orang lain." Ia
membawa saya ke kantor penerbit dimana diperkenalkannya saya dengan tiga
wartawan, seorang juru potret dan seorang penata tulisan. Saya diberi meja
sendiri. Ada sebuah ruangan ketiga, tempat kami makan siang - diberi cumacuma.
Yang bertugas disini ialah seorang ‘charpase’ atau pesuruh yang
mengerjakan beberapa pekerjaan kasar, mengirim/menerima surat-surat, tugastugas
pesuruh lainnya, mengambil makanan siang dan menyiapkan minuman.
Besok pagi saya tiba untuk bekerja pada jam yang ditentukan dan menghadapi
rekan- rekan sekerjaku. Saya satu-satunya wanita diantara 7 pria, tapi jika saya
sudah takut lebih dahulu maka ketakutan itu tidak beralasan - mereka semua
sangat menghormatiku dengan sebutan ‘Ba-ji’ (saudara perempuan). Dalam
waktu 4 hari saya berusaha mempelajari segala sesuatu sedapat-dapatnya
termasuk 10 pertanyaan yang disodorkan. Saya bertekad untuk sukses.
Saya segera mengetahui bahwa berita-berita digodok di ruang berita, diperiksa
penerbit sebelum diserahkan kepada penata tulisan untuk mengatur cetakannya
ke dalam bahasa Urdu di atas lembar-lebar kertas yang lebar. Lalu penerbit
akan memeriksa hasil kerja tersebut guna meyakinkan bahwa tidak ada
kesalahan sebelum masuk ke percetakan. Salah satu tugasku ialah membantu
bapak penerbit memeriksa hasil kerja si penata huruf sebelum dikirimkan ke
percetakan. Kadang-kadang saya harus menemani si pesuruh ke kantor pos
untuk membawa atau mengambil bungkusan-bungkusan. Apabila kirimankiriman
majalah yang baru dicetak diterima maka saya bertugas melipat dan
membubuhkan alamat-alamatnya. Saya menjadi terbiasa dengan label-label dan
perekat serta merasa senang mempelajari tugas-tugasku yang baru ini sambil
menunggu dengan perasaan was-was untuk melaksanakan wawancaraku yang
pertama kali.

Jadwalnya ialah mewawancarai seorang istri bekas Menteri Luar Negeri yang
telah berhenti dari tugas pemerintahan karena ada kesulitan pribadi dengan
Perdana Mentri Bhutto. Hal ini berarti bahwa pertanyaan yang kuajukan haruslah
sedemikian agar sedapat mungkin tidak mengganggu nyonya itu - namun si
penerbit meyakinkan padaku bahwa nyonya itu mungkin malah akan merasa
senang bila diajukan pertanyaan yang sulit. Seperti biasanya,beliau benar.
Nyonya itu menerimaku dengan sangat ramah di ruang duduk pribadinya dan
mempersilahkanku duduk. Saya teringat akan pertemuanku dengan nyonya
yang sopan dulu namun akhirya menjebloskan saya ke penjara. Saya mengakui
bahwa sekarang saya merasa puas dapat menjadi salah seorang anggota massmedia
yang mempunyai kemampuan lebih besar dibandingkan dengan di waktuwaktu
lampau.

Kini saya menjadi seorang penyelidik. Kuajukan 10 pertayaanku satu demi satu.
"Kenapa suami ibu berhenti? Apakah ibu senang atas keputusan yang diambil
beliau? Dimana ibu mendapat pendidikan?" Dan seterusnya. Pertanyaanpertanyaanku
tidak terlalu tajam namun dengan mengajukannya kepada
seorang wanita oleh wanita lain serta hasilnya akan dibaca oleh beribu-ribu
wanita lain di seluruh negeri telah memberikan pertanda adanya perubahanperubahan
yang sedang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu.
Altaf si juru potret menemani saya bersama yang lain pada wawancara itu. Jadi
saya merasa yakin akan adanya perlindungan dan ia pun sangat gembira dapat
bertemu dengan para wanita. Setengah dari masyarakatnya masih tersembunyi
dari pandangan dan diperlukan sebagai milik pribadi oleh separuh bagian
lainnya.

Suatu pemikiran modern yang merayap masuk perlu menjalani perjalanan
panjang untuk mengimbangi tradisi yang masih memisahkan pria dan wanita
dalam satu bentuk genggaman yang kuat, baik di kalangan orang kaya dan
terpelajar demikian pula di kalangan miskin dan awam. Dalam hal-hal lain Astaf
juga berfaedah. Sesekali nyonya itu memakai bahasa Inggris waktu menjelaskan
tentang kehidupannya. Ini membuat saya kikuk sebab oleh larangan kuno
ayahku maka saya tidak dapat berbicara dalam bahasa ini merupakan ciri-ciri
dari tingkat masyarakat dan pendidikan yang telah diterima maka saya
memerlukannya. Tapi dengan pelan kawanku menterjemahkannya bagiku. Ia
juga memikirkan mengenai pertanyaan lain untuk diajukan, bila pikiranku masih
menerawang. Ketika semua pertayaan selesai diajukan, nyonya itu bertanya
tentang diriku, "Sampai dimana pendidikanmu?"
"Cukup untuk mewawancarai nyonya," jawabku.
Beliau tertawa, "Jarang kita dapat bertemu dengan seorang wanita yang benarbenar
terpelajar," katanya.

Ketika diterbitkan ternyata tulisanku telah dikoreksi dengan baik oleh penerbit.
Namaku ditulis Gulshan di bawah judulnya. Beliau tidak menambahkan namaku
yang kedua "Esther". Nyonya itu membayar 700 rupee dan saya menerima 140
dari jumlah itu.
Saya menyerahkan 100 kepada John Emmanuel dan menyimpan yang 40. Pada
mulanya tuan dan nyonya rumahku tidak mau menerima uangku tapi saya
memaksanya.
"Kami sangat berbahagia atas pertolongan Tuhan bagimu," kata mereka.
Ya, saya pun merasa bahagia juga. Untuk pertama kalinya dalam hidupku saya
berhasil memperoleh gajiku sendiri dengan memanfaatkan pendidikan yang
kuterima. Tanpa terasa, ingatan kemarahan dari wajah kakak-kakak lelakiku
mulai menghilang ke latar belakang.
Pada kesempatan lain saya mewawancarai seorang Kepala Sekolah wanita SMA
gadis-gadis di Lahore. Saya merasa gugup sebelum ke sana karena takut
membuat kekeliruan dengan pertanyaan-pertayaanku di depan wanita yang
pandai, memiliki wibawa laksana sebuah ‘burka’ layaknya, namun si juru potret
Altaf menguatkan hatiku, "Katakan padanya bahwa anda menginginkan beliau
menjelaskan tentang segala sesuatu sehingga dapat dimengerti para pembaca.
Lalu dengarlah baik-baik dan catat semuanya. Jangan takut mengajukan
pertanyaan sederhana - kebanyakan pembaca anda tidak mau kalau anda
bertindak terlalu pintar."

Nasihat ini baik sekali. Saya duduk di sana dengan penuh kesederhanaan dan
mendengarkan kuliah Kepala Sekolah itu tentang perbedaan antara sekolah
swasta dan sekolah pemerintah. Keuntungan menyolok yang kuperoleh dari cara
padang Kepala sekolah itu kelihatannya ialah beliau merasa dapat bertindak
lebih bebas- dibawah pemilik sebelumnya beliau terlalu didikte dalam banyak hal
sehingga biaya pendidikan sangat meningkat. Satu aspek yang merugikan
sekarang ialah fasilitas yang tersedia makin sedikit. Sebagai tambahan atas
informasi ini saya menulis tentang ruangan itu, kondisi sekolah di mana kami
diajak mengadakan peninjauan dan melihat pemunculan gadis-gadis yang
bersekolah di sana.
Si juru potret sangat menyenangi wawancara ini karena ia diminta memotret
banyak obyek termasuk para gadis di sana. Mereka tampil dengan cantiknya
dalam ‘Shalwar kameeze’ nya yang putih dengan ‘dopatta’nya berwarna biru,
inilah pakaian seragam mereka dan kupikir bahwa pengalaman ini sangat
menarik karena gadis-gadis itu sering cekikikan sambil menutup mulutnya
dengan ‘dopatta’nya.

Penerbit mengomentari tulisanku dengan "lumayan". Beliau bukanlah orang
yang mudah merasa puas. Tiga hari kemudian saya kembali ke sana sesudah
tulisanku dicetak untuk mengambil sisa pembayaran yang belum dilunaskan ke
majalah kami - pewawancara selalu mendapatkan uang panjar sebelumnya.
Saya menemui kepala sekolah yang kini memandangku dengan rasa ingin tahu
sebab rupanya ia dapat mengetahui sedikit tentang kisahku yang diceritakan
oleh salah seorang stafnya yang beragama Kristen. "Kenapa anda pindah
agama? Dapatkah saya membantu agar anda kembali ke iman Islam-mu?" kata
kepala sekolah itu. Jadi di depan stafnya saya bercerita sedikit tentang hal ini.
"Anda bersikap hati-hati dan imanmu teguh" katanya. Kekuatiran-kekuatiranku
mulai hilang sebab tidak ada kesulitan yang timbul terhadap apa yang kutulis.
Lama kelamaan saya merasa bahwa pekerjaan menjadi lebih mudah dan mulai
terbiasa melihat namaku dicetak menyertai tulisan-tulisanku. Suatu perasaan
aneh timbul bila kupikirkan bahwa tulisanku dibaca di seluruh Pakistan dan
mungkin memberikan aspirasi bagi para wanita muda sambil menunjukkan
bahwa salah seorang kawan sejenisnya dapat berbuat sesuatu. Dan bagi saya
yang menjadi contohnya, memiliki cara pemikiran dan ambisi yang menjurus ke
arah yang berbeda sama sekali yaitu untuk melayani Tuhan dan melakukan
kehendakNya. Jadi, mengapa saya di sini, bekerja di majalah ini - suatu
pengalaman yang lain sama sekali dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Jalan
pengabdian ibadahku telah membawaku ke sini, tetapi untuk alasan apa? Hal ini
adalah suatu teka-teki silang dan biasanya saya tidak terpengaruh oleh teka-teki
ini dan hidup seadanya dari hari-kehari menelusuri 2 bagian terpisah dari
hidupku, yang di luar dan di dalam, kehidupan bekerja dan kehidupan berdoa.

Namun, rekan-rekanku wartawan lainnya menyadari bahwa saya berbeda
dengan mereka. Setelah kira-kira 2 minggu mereka dapat mengetahui bahwa
saya beragama Kristen, walau pun tidak diketahuinya bahwa sebelumnya saya
memeluk agama Islam. Mereka menggodaku tentang kepercayaan ini - anda
percaya pada tiga Tuhan, katanya sambil tertawa. Seharusnya saya mencoba
menjelaskan bahwa tidaklah demikian, hanya ada satu Tuhan dengan tiga
manifestasinya - Bapa, Yesus Kristus anak Tuhan dan bukan hanya seorang nabi
saja serta Rohulkudus yang diturunkan pada hari Pentakosta untuk memenuhi
orang-orang percaya dengan kehidupan Kristus, mengajar dan menyucikan
mereka. Tapi sejak kanak-kanak, mereka telah diajar dan ditanamkan untuk
berpikir bahwa agama Kristen telah merendahkan kemurnian yang percaya
bahwa Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, jadi sekarang bagaimana saya dapat
merubah jalan pikiran mereka ini?

Selama ini kuperhatikan bahwa tidak ada seorang pun di kantor itu yang
melakukan sembahyang Azhar (sianghari) dan saya sangsikan sampai berapa
dalam iman mereka terhadap kepercayaannya. Ruangan-ruangan kantor itu
dibagi oleh papan-papan tripleks tebal dan si penerbit biasanya menghentikan
godaan-godaan itu seraya masuk ke ruangan kami menyuruh kawan-kawanku
diam dan berkata, "Jangan menggodanya. Ia hanya satu-satunya wanita dan
anda tidak boleh berlaku kasar padanya."

Pada suatu hari saya sedang menuruni anak tangga, jam 4 sore dalam
perjalanan pulang ketika pemilik toko permen di sebelah kantor kami, bapak
Jusuf menyapaku. "Assalam alaikum (kiranya damai turun atasmu)," katanya.
Saya berhenti dan menunggu sampai beliau dekat "wa laikum salaam (kiranya
damai serupa juga turun atas anda)," sahutku. Katanya, "Nyonya, saya telah
memperhatikanmu lewat selama ini dan kupikir anda tentulah seorang terpelajar
untuk dapat bekerja di majalah itu. Saya sedang mencari seorang guru bagi
ketiga anakku dan saya berpikir apakah kiranya anda menaruh minat untuk
mengajar hal ini dan membicarakan tentang biaya untuk memberi pelajaranpelajaran
itu."

Saya ragu-ragu. Gaji yang kuterima di majalah itu tidaklah besar, karena saya
hanya bertugas sekali atau dua kali sebulan, tidak sama dengan rekan-rekanku
pria yang berdinas luar setiap waktu malah sampai ke luar Lahore. Saya
memasuki rumahnya bersamanya dan diperkenalkan dengan istri serta ketiga
anaknya dan kami langsung dapat saling menyukai satu sama lain lalu
menetapkan tentang urusan mengajar tersebut. Saya akan mengajar bahasa
Urdu, matematika, agama Islam, sejarah dan Ilmu Bumi kepada anak-anak itu
di luar jam sekolahnya dua jam sehari dari jam 4 sampai 6 sore. Saya meminta
upahnya 150 rupee per bulan dengan makan malam tiap hari. Saya tidak akan
datang pada hari Minggu. Pengaturan baru ini membawa akibat. Saya harus
berpisah dengan kawan-kawanku yang baik hati di Medina Colony, sebab hari
akan malam sebelum saya tiba di rumah dan bagi seorang wanita tidak aman
berjalan sendirian di waktu malam hari. Ada banyak pencopet dan dan penculik
di kota ini - kini saya menjadi cukup mengerti dengan sisi kehidupan jahat ini
sejak pengalamanku di penjara tempoh hari. Jadi saya tiggal bersama Bapak
dan Nyonya Neelam. Alamatnya : Jalan Warris, dekat gereja tak jauh dari Old
Anarkali. Saya mengenal Bapak Neelam waktu bekerja di "Sunrise" ketika beliau
menjadi guru musik di sana.

Sampai bulan Desember saya sudah menulis 8 atau 9 cerita semuanya dari
‘Gulshan’ atau kadang-kadang pelapor wanita kami dan saya merasa bahwa si
penerbit senang dengan hasil-kerjaku,. Pada minggu kedua bulan itu saya
dipanggil ke kantornya. "Anda telah melaksanakan pekerjaan lebih baik dari
yang kuduga," katanya. Saya ingin mempertahankan anda di sini, namun ada
satu hal yang perlu dibereskan jika saya mengambil tindakan tersebut - anda
harus kembali ke iman Islam-mu."

Saya duduk menjadi kaku seperti batu layaknya. Ia melanjutkan, "Sekarang
ceritanya kuketahui kenapa anda beragama Kristen. Namun, dengar baik-baik,
jika kakak-kakakmu tidak membantumu, saya akan membantumu - hanya
lepaskan kekristenanmu. Tidak, dengarkan anda dapat tinggal di rumahku. Anda
akan menjadi pimpinan para wartawan. Saya akan mencari wartawati lain dan
pendapatan yang akan anda terima seluruhnya perbulan berjumlah 1000 rupee.
Karena desakan perasaan waktu menerima kenyataan ini saya bangkit setelah
memahami tujuan pembicaraannya. Orang ini berhubungan dengan Alim Shah -
mungkin mereka berkawan, pergi ke klub yang sama. Rupanya beliau telah lama
tahu tentang diriku dan dengan sabar menunggu kesempatan baik ini. Hal ini
merupakan ulangan cerita lama yang sama."Tunjukkan padanya betapa besar
cinta-kasih satu sama lain di kalangan kita maka mungkin ia akan kembali lagi
karena ia memerlukannya, daripada bekerja untuk dapat hidup dan tinggal
menumpang dengan orang lain." Dan saya, karena merasa begitu senang
dengan kemajuan-kemajuan penulisanku telah gagal memperhitungkan kenapa
orang ini telah menerima seseorang seperti saya yang belum berpengalaman?

Dan kapankah mereka dapat diyakinkan bahwa saya tidak mau kembali lagi?
Saya mengeluh.
"Janganlah bapak berpikir bahwa saya tidak merasa berterima kasih atas
tawaran bapak. Saya sangat ingin bila dapat terus bekerja disini namun saya
harus mengutarakan bahwa saya tidak dapat melepaskan kekristenanku. Yesus
adalah kehidupan bagiku. Apa yang saya dapatkan di dalam Dia, tidak dapat
diberikan oleh agama lain."

Beberapa waktu kemudian, di hari yang sama, istrinya masuk menemui saya
dalam perjalanannya ke toko di Old Anarkali - menurut hematku adalah
merupakan usaha terakhir untuk merubah pikiranku. Beliau memanggil saya
masuk kantor suaminya
ketika bapak penerbit sedang sibuk membaca hasil cetakan di ruang wartawan.
"Anda cukup pandai" katanya. "Kenapa anda beragama Kristen"
Pengungkapan ini menyedihkan hatiku. Bagi yang berfaham fanatik dianggapnya
yang beragama Islam itu bodoh karena mempercayai suatu dusta.
Saya memahami bahwa wanita ini tidak memiliki penghayatan dan pendalaman
rohani dan saya merasa tidak perlu untuk mengungkit-ungkit mengenai hal ini
lagi. Dengan lembut saya menjawab, "Ibu tidak akan dapat mengerti terhadap
tahapan yang telah saya capai sekarang. Tuhan begitu nyata bagi saya."
Beliau memandang dan wajahnya kelihatan tegang. Nyonya itu berlalu tanpa
berkata sepatah kata lagi. Pada akhir jam kerja, bapak penerbit memberikan
padaku sebuah amplop berisi uang sebesar 125 rupee di dalamnya.
"Maafkan saya" katanya. "Namun anda tidak dapat meneruskan bekerja di sini
lagi. Istriku dan saya sendiri memohon maaf dan menyesal karena anda harus
pergi. Kami akan tetap mengingat anda."
"Saya pun memohon maaf dan merasa sayang, namun Tuhan akan memberikan
pekerjaan lain bagiku," kataku dengan tegap, namun dalam hatiku sebenarnya
jauh dari berani.

Bapak penerbit itu kelihatan jelas bergumul dengan perasaan kemanusiaannya
karena sewaktu saya berjalan menuju pintu beliau berkata, "Jika anda merasa
melarat saya akan membantu, namun masalah iman ini tetap ada."
"Jangan kuatir", jawabku. "Tuhan akan menolongku. Sebelum saya mencari
pertolongan pada manusia, terlebih dahulu saya akan mencari pertolongan pada
Tuhan."
Dan saya meninggalan kantornya. Para wartawan yang lain tidak senang atas
kepergianku. "Anda telah begitu lama bersama kami dan sekarang anda pergi
hanya karena masalah agama yang sepele itu. Oke, Nabi Isa itu telah
menyembuhkan engkau - kenapa anda tidak membayarkan sejumlah uang saja
dan dengan begitu persoalannya beres?"

"Dia jauh lebih berarti bagiku daripada sekedar hal yang demikian itu", jawabku dan saya berjabatan tangan dengan mereka. Kemudian saya pergi dan menuruni tangga dengan perasaan dingin, kepalaku pusing disebabkan oleh guncangan pengusiran ini, tepat pada waktu saya baru mulai merasa aman dari serangan-serangan yang khusus seperti ini. Setibanya di luar saya bersandar ke dinding untuk menenangkan diriku. Tentunya ada satu alasan mengapa saya menjalani semua pengalaman yang menggoncangkan ini. Di dalam hatiku saya berseru kepada Bapaku di Surga dan Dia langsung memberikan jawaban dengan kata-kata yang menghiburkan. "Makin bertambah harimu berlalu maka kekuatanmu pun makin bertumbuh. Bukankah Aku telah memberi perintah kepadamu?" Saya tidak menyadari bahwa di hadapanku telah terbentang Tanah Perjanjianku yang Istimewa dan bahwa saya sedang dipersiapkan untuk masuk ke dalamnya.

No comments:

Post a Comment