Friday, August 26, 2011

BERSAKSI

"Ada seorang tamu untukmu di sini," kata nyonya Neelam di pagi hari tanggal 30 Desember dan saya melongok ke atas dari bacaanku melihat-lihat. Rupanya Bapak Gill, seorang tua-tua dari Gereja di FOREMAN CHRISTIAN COLLEGE yang membawakan sebuah undangan untukku. Beliau langsung mengutarakan maksudnya.

"Pendeta Arthur dari gereja METHODIST, FOREMAN CHRISTIAN COLLEGE, ingin megundang anda untuk berkhotbah pada pelayanan Tahun Baru nanti. Anda dapat membawakan berita apa saja yang digerakkan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?"

Untuk sekejap saya tidak dapat menjawab. Foreman Christian College adalah sebuah tempat besar dan gereja tersebut biasanya penuh dengan orang-orang berpengaruh. Bagaimana saya dapat berdiri di depan jemaah seperti itu dan berkhotbah? Saya hampir merasa mau menolak di kala teringat sesuatu yang difirmankan Tuhan padaku malam itu, "Pergilah dan saksikanlah kepada umatKu."

Ketika saya disembuhkan, Yesus telah memerintahkan saya untuk melakukan hal ini, tapi waktu itu saya belum siap. Namun, visi yang penuh kegemilangan cahaya itu telah memancar dengan terang sekali di jalanku, mengajar saya untuk mengenal Tuhan melalui FirmanNya dan dengan Iman. Apakah udangan ini yang datang tanpa disangka-sangka merupakan tanda bahwa saya telah siap untuk memberikan kesaksian ke pada Gereja mengenai apa yang telah saya alami dengan Berkat dan Kasih SetiaNya padaku? Sekarang saya memahami bahwa jika sesuatu keperluan untuk melakukan tindakan telah matang maka beberapa faktor akan saling menunjang- kesempatan terbuka, suatu bisikan suara terdengar lalu terasa adanya suatu kedamaian di dalam hati serta keyakinan bahwa waktu untuk bertindak sudah tiba.

Saya memandang ke arah si pembawa berita itu.
"Saya akan datang" kataku, "namun bagaimana saya kesana?"
"Anda sangat diharapkan untuk datang dan tinggal bersama istriku dan saya besok malam di rumah kami di Wadat Colony. Alamat itu dekat dengan gereja dimaksud dan dari sana kami akan membawa anda ke kebaktian pada hari Tahun Baru." Kamla Neelam sependapat dengan usul ini dan diatur bahwa Bapak Gill akan datang menjemputku besok pagi untuk pergi ke rumahnya. Saya akan datang dan berusaha mengumpulkan ingatanku untuk ujian yang akan datang ini.

Besok malamnya di ruang tamu nyonya Gill, ketakutan menyelimuti diriku
sewaktu saya merenungkan apa yang harus kulakukan. Perasaan sombong, rasa
mau menonjol- nonjolkan diri ke muka..... saya begitu ingin memberikan suatu
kesan yang baik.

Sambil berlutut akhirnya saya mengungkapkan khayalan ini dengan berkata,
"Bagaimana caranya saya memberi kesaksian tentang Engkau ya Tuhan?
Bagaimana saya dapat melukiskan tentang diriMu?" Baiklah, kedengarannya
bodoh barangkali. Apa sebenarnya yang saya perlukan? Pemunculan yang suci
dan keramat yang sama lagi? Segera setelah pikiran itu kuungkapkan dengan
kata-kata saya menyadari betapa naifnya bagiku untuk merasa kuatir tentang
hal-hal seperti itu. Dalam keheningan pikiranku dengan kerendahan hati di
hadapan Hadirat Tuhan, saya mendengar suara yang tenang dan lembut,
"RohKu akan menyertaimu." Sukacita mengalir dengan derasnya. Cukuplah
kiranya janji itu bagiku.

Tidak kusangkal bahwa hal ini merupakan pengalaman yang pertama dalam
hidupku di mana saya harus berhadapan dengan hadirin sebesar itu. Para guru,
gurubesar, perawat, dokter dari Rumah Sakit Kristen di dekatnya - semuanya
berpendidikan tinggi dan yakin akan dirinya. namun saya merasakan suatu
kuasa yang tumbuh di dalam diriku ketika saya memberikan kesaksianku
tentang penyembuhanku dan menceritakan tentang berkat-berkat Tuhan padaku
melalui begitu banyak pengalaman yang menyedihkan. Para hadirin diam
terpaku, mengikuti setiap kata-kataku dengan matanya yang tidak lepaslepasnya
memandang padaku.

Sewaktu saya turun dari mimbar orang-orang datang menemuiku dan
mengatakan betapa kesaksian itu memberi makna dan berharga bagi mereka.
"Kesaksian itu memiliki kuasa", ucap satu atau dua orang. "Kami malah tidak
menyadari waktu berlalu," kata beberapa orang dengan air mata berlinang di
pipinya. Para wanita datang dan berkata, "Anda telah begitu banyak menderita
seorang diri." "Biarlah kami pun turut berpartisipasi untuk menanggungnya
bersamamu", dan mereka memberikan alamat-alamatnya kepadaku.
Sebagian dari persembahan itu diberikan padaku dan saya kembali ke rumah
keluarga Gill untuk makan siang. Melalui suatu selubung yang menakjubkan, terkenang olehku kedua kakak lelakiku - bagaimana rasa cintaku bagi mereka bergetar dalam kalbuku dan sekiranya mereka mendengar perubahan baru yang terjadi dalam pengalaman adik perempuan mereka yang telah diusir dan dibuangnya.

Sebagai kelanjutan dari Khotbah tadi pagi saya diundang untuk berpartisipasi
dalam persekutuan wanita di Gereja secara tetap pada Foreman Christian
College. Ini berarti bahwa saya harus berhenti mengajar di rumah Pak Yusuf dan
berkecimpung dalam pekerjaan yang benar-benar ingin kulakukan dan
dambakan: memberitakan Injil.

Semua gereja di kawasan itu satu demi satu mulai mengundang saya untuk
berkhotbah dan mereka membayar pembiayaanku. Selama April dan Mei saya
tinggal bersama beberapa teman di Canal Park. Dalam bulan Juni, keluarga lain
membawaku ke rumahnya dan saya di sana sampai hari perkawinan anak lelaki
kakak perempuanku.

Suatu persekutuan sambil berkemah bagi para wanita akan diadakan selama
musim panas di Muree. Daerah ini letaknya kira-kira 2500 meter di atas
permukaan laut di kaki gunung Himalaya atau 2 1/2 jam perjalanan bus jauhnya
dari Rawalpindi adalah sebuah stasiun lama di pegunungan semenjak kerjaan
Inggris Raya. Sekarang, orang-orang kaya berlibur ke sana untuk menikmati
iklimnya yang lebih sejuk serta pemandangan pegunungan dimana terdapat satu
atau dua puncaknya yang hampir selalu ditutupi salju sepanjang tahun.
Di Muree ada banyak kegiatan Kristen - sebuah sekolah bahasa bagi para
penginjil, sebuah sekolah Kristen bagi mereka atau anak-anak lainnya. Di
sekolah ini, tidak sama dengan sekolah yang ada di dekat permukaan laut,
selalu dibuka selama musim panas dan diberi libur sebulan di musim dingin
ketika salju tebal menutupi jalan-jalan pegunungan yang membahayakan.
Muree juga sangat sibuk pada musim panas dengan perkemahan-perkemahan
dan konferensi-konferensi yang diadakan oleh kelompok-kelompok Kristen dari
seluruh Pakistan. Persekutuan sambil berkemah bagi para wanita di Mambarak
dimana saya telah diundang sebagai pembicara utama berlangsung selama
seminggu pada awal Juni. Saya akan pergi ke Rawalpindi dengan pimpinan
rombongan persekutuan itu yaitu Nyonya Hadayat dengan kereta api dan kami
akan berangkat pada hari jumat jam 4 pagi.

Namun pada hari kamis pagi kira-kira jam 10, saya menerima berita dari kakak
perempuanku, Samina yang tinggal di Samanabad sedang mempersiapkan
sebuah pesta perkawinan. Anak Lelakinya akan kawin di sana hari Sabtu dan ia
menginginkan saya hadir sebagai tamunya. Anak lelakinya itu sendiri yang
menyampaikan undangan secara lisan di ruang duduk di rumah tempat saya
bertamu. Saya tersenyum padanya. Sejak kecil saya telah memperhatikan
pertumbuhan Mahmud yang akan menjadi harapan keluarganya dan saya ingin
untuk dapat hadir pada pesta perkawinan ini, namun ada halangan besar di
hadapanku.

Saya memberi pesan balasan secara lisan melalui Mahmud, "Harap sampaikan
pada ibumu bahwa saya sangat mengasihinya. Bagitu juga padamu, tapi saya
tidak dapat datang. Setiap orang akan menentangku karena kepercayaanku dan
kehadiranku hanyalah akan mengganggu suasana yang seharusnya merupakan
hari bahagia bagi kita semuanya. Bukan hal yang baik bagiku kalau datang,
tambahan pula saya pun akan pergi hari jumat menghadiri konperensi di
pegunungan. Saya memohon maaf padamu sekalian karena tidak dapat
memenuhi undanganmu yang penuh kasih ini."

Keponakanku pergi dengan mengendarai Yamaha-nya, kelihatan murung. Saya
meneruskan persiapanku. Pada jam 2 siang, Mahmud datang kembali, "Bibi,
anda harus menghadiri pesta perkawinan ini. Ibuku berkata bahwa beliau tidak
akan mengijinkan saya kawin jika bibi tidak hadir. Dan saya pun mengharapkan
agar bibi hadir". Dan dimata perjaka yang sudah besar ini terlihat ada air mata.
Saya membuat suatu keputusan yang agak melegakan.

"Satu-satunya yang dapat kukatakan ialah bahwa saya akan ke bapak dan ibu
Hadayat memintakan pendapatnya. Mungkin masih ada waktu untuk dapat
menghadiri perkawinanmu dan kemudian berangkat dengan bus ke Rawalpindi
pada waktunya yang akan disambung dengan bus berikutnya di minggu pagi."
Wajah Mahmud berseri- seri.

"Apakah Bibi dapat membonceng di sepeda motor? Saya akan membawa bibi ke
tempat bapak dan ibu Hadayat," katanya.

Jadi dalam waktu singkat seorang wanita muda membonceng di atas sepeda
motor yang menderu-deru di jalan sambil berpegangan erat pada kemeja
seorang anak muda di depannya.
Ketika kuceritakan pada keluarga Hadayat tentang dilema-ku, mereka langsung
memecahkannya, menasihatkan saya untuk memenuhi undangan tersebut.
"Kesempatan ini merupakan kesaksian," kata mereka, "beberapa dari
keluargamu belum bertemu lagi denganmu setelah anda disembuhkan."
"Benar." Kukenangkan pertemuan yang tidak enak dengan para paman dulu.
Teringat olehku akan tatapan mereka yang keras, melotot dari wajah-wajahnya
yang marah terhadap anak-dara muda yang kurus ini yang berani menantang
adat-istiadat keluarga dan hukum agama. Ini telah terjadi pada pribadi yang
lain. Namun apakah pendapat mereka telah berbeda sekarang? Saya sangsi
kalau mereka telah berubah. Walalupun demikian masih ada satu atau dua
kesempatan untuk bersaksi dan saya mencintai kakak perempuanku serta anak
lelakinya ini. Bagi kepentingan mereka saya akan pergi ke sana.
"Anda benar," jawabku.

Dan begitu kesulitan tersebut diatasi, bapak Hadayat mencari pada jadwal
harian bus dan kami menemukan bahwa ada bus berangkat dari Badami Bag di
Lahore jam 12 tengah malam hari sabtu yang membawaku ke Rawalpindi pada
waktu yang tepat untuk berganti ke bus yang lain menuju Muree dan tiba disana
dalam waktu yang cukup untuk berbicara pada hari minggu sore di persekutuan
yang pertama bagiku. Keponakanku membawa kembali saya ke rumah di atas
Yamahanya dan berjanji akan datang besok menjemputku dan membawaku ke
pesta kawin itu.

Jadi, keesokan harinya saya mengambil sebuah tas kerja kecil dan dengan
ditemani keponakanku dengan cara yang istimewa saya berangkat menuju
Samanabad. Pesta kawin itu seperti yang saya ramalkan merupakan suatu
bencana dari awal sampai berakhir. Beberapa keluargaku yang lebih tua
menganggap kehadiranku merupakan pelanggaran langsung dan
membelakangiku bila saya di sekitar mereka. Yang lainnya dimana fanatisme
Jihad-nya tebal, mendebat saya dengan keras sehingga saya hampir tidak
berkesempatan bercakap-cakap dengan kakak-kakakku Samina atau Anis yang
belum bertemu denganku hampir setahun lamanya.
Tumpuan serangan itu ialah "Kenapa kamu percaya pada Nabi Isa sebagai anak
Tuhan?"

Alkitabku ada dalam tasku tapi saya tidak perlu membukanya kata-kata yang
kuperlukan datang ke bibirku tanpa dapat dibendung dan memiliki kuasa. Saya
menyadari bahwa kesempatan ini mungkin tidak akan kuperoleh lagi, jadi saya
berbicara pada setiap orang yang menaruh perhatian walalupun hanya sedikit.
Perdebatan meningkat dan rasanya saya tidak punya waktu baik untuk makan
ataupun minum. Yang paling marah kepadaku ialah kakak-kakak lelakikku, tidak
terlihat olehku. Safdar Shah tidak datang waktu mendengar bahwa saya akan
hadir sedangkan Alim Shah selalu menjamu para tamu pria dan di luar
jangkauanku. Lama kelaman mereka yang berdebat denganku berkurang satu
per satu dengan sentilan ungkapan seperti, "oh, ia gila, tinggalkan dia" dan
"kami tidak punya hubungan keluarga dengannya, jangan berbicara dengannya".
Tiba-tiba saya melihat waktu sudah jam 11 malam. Saya mendengar suatu
suara berkata, "Engkau akan bersaksi di Muree besok dan kau masih di sini
sekarang." Saya menjadi agak panik dan bergegas ke kamar kakak
perempuanku serta memohon bantuan bila ada orang yang dapat mengantarku
ku ke Badami Bagh. Tapi mobil Samina sedang dipakai tamu-tamu lainnya, Anis
sedang sibuk dengan kaum keluarga suaminya dan beberapa tamu dengan tegas
menolak – saya mendengar seseorang berkata, "Kami tidak mau mencemarkan
mobil kami. Mintalah kepada Yesusmu untuk menolong dirimu." Samina
mendekat dan memegang tanganku – "Gulshan maafkan saya karena tidak
dapat menolongmu. Kenapa kau tidak bermalam dengan kami malam ini lalu
besok kami akan mengantarmu ke stasiun bus?" Sebenarnya usul ini baik
kedengarannya, karena bagi seorang wanita pergi sendirian di malam hari
seperti ini di jalanan mengandung ancaman bahaya. Namun saya merasakan
suatu desakan perasaan yang mendorongku. Saya telah diberi tugas sehingga
saya harus mengusahakan sedapatnya untuk memperoleh jalan keluarnya.

Lupa berpamitan saya menyelinap perlahan dari rumah yang terang benderang
itu bersama seluruh kesenangan dan rasa amannya lalu berdiri di pinggir jalan.
Awan-awan menyelubungi bulan, rumah-rumah dan pepohonan kelihatan samar
dalam kegelapan. Dahan-dahan sebatang pohon mulberry (bebesaran) mendesir
diatas kepalaku. Dengan gugup saya bergerak dibawah bayangannya."Tuhan,
Engkau telah menyucikan saya. Jagalah dan tolonglah agar saya dapat sampai
ke stasiun bus pada waktunya. Saya serahkan diriku sepenuh-penuhnya dalam
lindungan Tuhan," doaku. Ketika saya mengakhiri doaku, air mata jatuh
berlinang. Saya merasa kehadiran Tuhan di sekelilingku di dalam gelap itu dan
di dalam lingkaran itu saya merasa aman. Lalu dari jauh saya mendengar dan
makin mendekat, bunyi deru mesin sepeda motor dan hampir bersamaan saya
melihat lampu depannya kelap-kelip; cahaya lampu diselubungi kegelapan
malam itu, sewaktu kendaraan itu bergerak menuju ke arahku menelusuri
jalanan aspal. Saya melihat rupanya sebuah rickshaw (semacam becak bertutup
yang dilengkapi mesin). Apakah kendaraan ini sedang membawa seseorang
yang terlambat datang ke pesta kawin itu ataukah pengemudinya akan pulang
setelah bekerja sehari-harian? Sambil berdoa agar orang ini akan berhenti
bagiku, saya melambai-lambai dan kendaraan itu berhenti di samping tempat
saya berdiri.

"Dapatkah bapak membawa saya ke Badami Bagh secepat yang dapat bapak
lakukan? Saya harus mengejar sebuah sebuah bus yang akan berangkat ke
Rawalpindi selekas mungkin." Saya tidak dapat melihat wajahnya karena ia
memakai semacam penutup kepala, namun ia mengangguk dan saya naik ke
atas kendaran itu dan saya tidak mau mengira-ngira apakah orang ini penjahat
yang akan mengambil keuntungan dari situasi saya.

Kami bergerak maju, meninggalkan gema deru mesin. Rasanya kami melaju
dengan cepat sepanjang jalan. Sewaktu kami berputar masuk ke Badami Bagh
saya melihat ke jam saya, nyatanya kami menempuh jarak 28 km dalam waktu
5 menit. Pengemudi itu mengangkat tas kerjaku tanpa berkata-kata dan
membawanya ke deretan bus Watan Transport untuk tujuan Rawalpindi. Waktu
ia mendekat, kelihatan berperawakan tegap dan mengenakan sebuah jubah
panjang yang aneh berwarna coklat tua, pikirku mungkin di seorang Pathan
(Indo-Iran).
Tasku diletakkan di bawah tempat duduk depan dan mau berlalu tanpa
menunggu bayaran, sewaktu saya menghentikan dan bertanya, "Berapa ongkos
yang harus saya bayar?"

Setelah berpaling ke arahku, ia berkata, "Tuhan telah menyuruh saya untuk
menolongmu. Pergilah dengan damai". Lalu ia membalik, pada lipatan leher
jubahnya dan pada lengannya yang berotot saya membaca sebuah kata yang
ditulis dengan huruf mengkilap "PETRUS". Saya berusaha melihat wajahnya
namun saya hanya dapat melihat matanya yang bercahaya.
Air mataku berlinang-linang dan saya terpaksa menghapusnya. Ketika saya
menengok lagi ke arahnya, dia telah menghilang dan tidak mengambil
bayaranku, saya melihat ke sekeliling stasiun bus itu yang pada waktu malam
selarut itu cukup sibuk karena orang- orang lebih suka bepergian di saat itu
dibandingkan dengan di siang hari yang panas, namun yang terlihat ialah para
penumpang bus yang meluruskan kaki-kakinya bersiap- siap melaksanakan
perjalanan panjang. Saya mengambil tempat di tempat duduk berkasur, satusatunya
wanita di bus itu yang bepergian sendirian dan tidak mengenakan
‘burka’ dan saya membayar ongkosnya pada kondektur sewaktu ditagih.

Kami berhenti selama 1/2 jam di Jhelum untuk beristirahat, di tanda
pertengahan perjalanan dan kemudian berhenti lagi di Gujarkhan. Waktu
mendaki udara rasanya makin dingin menelusuri kaki gunung Himalaya. Waktu
tiba di Rawalpindi jam menunjuk kan 04.45 pagi dan kami mencari jalan
melewati orang-orang yang berdesak-desakkan, sapi-sapi dan kambing-kambing
yang kurus, mobil-mobil, rickshaw, truk, sepeda, dan pedati-pedati agar
mencapai stasiun perhentian bus di Raja Bazaar.

Cahaya matahari telah memberi warna pada tepi langit di ufuk Timur dengan
sinarnya yang keemas-emasan. Bus untuk tujuan Muree itu lebih kecil, jalannya
pelan dan perjalanan itu sendiri berbahaya melalui jalan pegunungan yang
berliku-liku dan ruang lewat hanya cukup untuk dua kendaraan.
Pada bagian tahun seperti ini, banyak yang memakai jalan itu, ketika padangpadang
tersiram getaran-getaran panas. Kami duduk menghadap ke dalam dan
punggungku menarah ke dinding gunung sehingga saya tidak terpaksa melihat
ke tepi lereng gunung yang berbahaya itu. Pada jam 11 pagi kami mendekati
Muree. Saya turun di pemberhentian bus di depan kantor pos di lereng bawah
kota itu. Saya memberikan tasku pada seorang buruh dan ia menunjukkan
padaku jalan pintas menuju perkemahan Mubarik. Di dekat perkemahan itu
penjaga gerbang melihat kami segera datang menjemput dan mengambil tasku.
Acara kemah bagi para wanita itu merupakan suatu minggu yang
pengalamannya luar biasa bagiku. Ada 30 wanita peserta dari Peshawar, Sialkot,
Karachi, Faisalabad (dulunya bernama Lyallpur) dan Hyderabad. Tuhan telah
menyatakan mujizat kesembuhan di tempat dimana para wanita mengalami
penderitaan.

Saya bermalam di sebuah gedung bertingkat dua bersama Rut dari Abbotabad.
Ada acara-acara untuk pagi dan malam hari serta waktu-waktu makan lalu
selebihnya bebas namun saya sangat sibuk karena melayani banyak wanita yang
berbicara mengenai beban hidupnya. Seorang guru sebuah Sekolah Pemeritah di
Lahore mengatakan bahwa ia mengalami kesulitan dalam memberikan kesaksian
diantara para ibu non-kristen disana. Kami berdoa bersama dan membicarakan
tentang rasa takut yang dapat menguatkan ikatan kita satu dengan yang lain
dalam situasi seperti itu dan saya mengingatkan dia janji Kristus; "Aku tidak
akan meninggalkan atau membiarkan engkau." Waktu kami berpisah ia berkata
dengan sukacita, "Anda telah memberikan harapan baru padaku untuk
menghadapi segala macam masalah."

Ketika para wanita pergi, suatu kelompok pemuda datang dari Pelshawar dan
Pendeta Sayed yang mengelola perkemahan itu meminta saya tinggal dan
berbicara di depan mereka. Seorang pengacara muda datang dan mengatakan
padaku bahwa ia bekerja diantara penganut-penganut agama lain dan merasa
malu untuk bersaksi. Saya mengingatkannya akan Mat.10-31 - 33 dan berdoa
bersamanya. Pada hari ke 4 ia datang kembali dan berkata sekarang ia sudah
memiliki keberanian. "Ketakutan sudah lewat". Begitu juga dengan saya. Ia
berkunjung ke tempatku waktu saya akan meninggalkan perkemahan menuju
Rawalpindi dan tinggal dengan keluarga Younis. Saudari Younis sudah pernah ke
Mubarik dan kami membentuk suatu persekutuan. "Datang dan tinggal bersama
kami bila anda ke sini," katanya kepadaku. Jadi itulah yang kulakukan.

Dari perkemahan-perkemahan itu pelayananku benar-benar mulai dilaksanakan
dengan tekun dan saya pergi ke berbagai tempat berbicara di konferensikonferensi
mengenai cara Tuhan menjamah saya. Saya diundang lagi ke
Mubarik pada tahun pertama itu yaitu awal Juli dimana ternyata kami membagi
satu tempat konferensi bersama orang-orang terkenal di masyarakat Kristen.
Mereka menerima saya sebagai seorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk
melayani. Setiap waktu saya melayani Firman, undangan-undangan mengalir
dari berbagai tempat baik jauh maupun dekat. Orang-orang ingin mendengar
tentag apa yang akan kubawakan - mereka berkata Firman ini menguatkan
mereka dan bahwa itulah pelayanan Firman yang dibutuhkan pada masa-masa
kini.

Sekarang kesempatan-kesempatan mulai terbuka bagi suatu pelayanan yang lebih luas tapi disaat yang sama saya selalu berpegang teguh pada Yesus. Dari pengalamanku saya tahu bahwa jika banyak berkat maka serangan pun akan mengancam juga. Walaupun begitu, saya tidak mempersiapkan diri secara khusus untuk mengira-ngira secara khusus dari arah mana gerangan serangan itu akan datang.

No comments:

Post a Comment