tag:blogger.com,1999:blog-77999027813907420742024-03-14T03:00:08.048-07:00Kerudung Yang TerkoyakBASIC DIFFERENCES BETWEEN ISLAM AND CHRISTIANITYhttp://www.blogger.com/profile/09801109624760374141noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-7799902781390742074.post-33579245280810481822011-08-31T02:17:00.000-07:002011-08-31T02:17:00.235-07:00GODAAN<div style="text-align: justify;">Bila kukenangkan kembali maka rasanya masa yang kualami ketika tinggal bersama kakak dan iparku di Pindi merupakan salah satu dari waktu paling bahagia di dalam hidupku setelah menjadi Kristen. Anis selalu menyenangkan hatiku, suaminya berlaku baik dengan cara yang lemah lembut. Sekali lagi saya menjadi bagian dari keluargaku dan diperlakukan dengan kasih dan perhatian.
<br />
<br />Ada pembantu di rumah itu, 2 atau 3 pembantu wanita, masing-masing seorang klerk, koki, dan sopir. Anak lelaki koki bekerja di kebun. Saya tidak perlu lagi menjahit atau membersihkan meja. Kini saya dibutuhkan menjadi pengasuh gadis-gadis cilik dan saya lakukan hal ini seperti dilakukan Anis terhadapku dahulu – menceritakan kisah- kisah kepada mereka. Peranan yang sangat menyenangkan. Pada waktu yang sama saya merasakan bahwa saya memperhatikan para pembantu dengan simpati - bagaimana mereka melaksanakan tugas rumah tangga – mencuci piring, lantai, pakaian, menggosok, menyetrika, membersihkan, mengkilapkan, mengeluarkan debu, mengangkat-angkat, menyusun, memisah-misahkan dan menata kembali. Saya merasa berterima kasih pada semua orang atas pelayanan mereka. Saya tidak merasa rugi karena perasaan ini malah menyebarkan kebahagiaan.
<br />
<br />Kakakku dan saya makin dekat satu sama lain, kini bersaudara dalam Kristus. Tiap hari kami menggunakan waktu 2 atau 3 jam mempelajari Alkitab. Dalam waktu singkat Anis mendapatkan satu fakta sebagai kesimpulannya: dia dapat memahami isi Alkitab padahal sulit baginya untuk memahami Kitab Suci lainnya. Ditulis di dalam bahasa sendiri dan tidak ada misteri tentang Alkitab itu. Seseorang dapat membacanya sebagaimana halnya dengan membaca buku biasa, mengenal dari sudut pandangan lain tentang beberapa kejadian yang dikenal baik oleh umat Islam maupun umat Yahudi, tapi di sini ada satu kelebihan, yaitu kuasa Kebenaran yang sejati. Kakakku berkata, "Kata-katanya indah sekali, kata-kata ini mendatangkan penghiburan." Ia mengenang anaknya yang telah meninggal.
<br /><a name='more'></a>
<br />Saya berkata, "Kata-kata ini nyata dan merupakan Firman dari Bapa kita yang di surga. Apapun yang anda rasakan, kita akan mendapatkannya di sini, apakah itu susah atau senang. Yang terutama adalah kita yakin bahwa dosa-dosa kita sudah diampuni dan agar kita mengikut Yesus dari hari ke hari. Katanya, "Saya rasa Dia ada di sini bersama kita sewaktu kita berbicara tentang Dia." Kutunjukan padanya ayat, "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18:20) Waktu kita berdoa Dia mendengarkan. Guru kita selalu menyertai kita. Kita dapat mengerti karena RohNya memimpin kita.
<br />
<br />Blund Shah tidak merasa gembira atas perhatian baru dari isterinya ini. "Jangan kau katakan kepada setiap orang bahwa Kristus telah membangkitkan engkau dari mati, kau diam saja!" pesannya kepada kakakku. Kelihatannya kakakku tidak begitu memperdulikan peringatan suaminya. Demi kepentingannya saya menjaga untuk tidak sembarangan bercerita kepada orang lain bahwa saya seorang Kristen, walaupun bila langsung ditanyakan kepadaku biasanya saya bercerita tentang visi dan penyembuhanku, dan kisah ini umumnya tidak memancing pertanyaan mereka lagi.
<br />
<br />Anis dan suaminya mempunyai banyak kaum keluarga atau teman, dan setiap
<br />hari ada saja tamu yang berjamu di bungalownya yang menyenangkan itu.
<br />Dalam sebuah rumah tangga Shiah, diatur dengan keras agar apapun yang
<br />terjadi di bagian lain dari dunia Islam, di sini pembagian mendasar atas jenis
<br />kelamin tetap dipatuhi. Tamu pria dan wanita walaupun tiba bersama-sama
<br />harus duduk di bagian serambi yang terpisah atau ruangan tamu yang berbeda.
<br />Adakalanya bagiku sebagai seorang Kristen, merasa tidak sabaran atas
<br />pemisahan hubungan manusia seperti ini, terutama sebagaimana yang
<br />kuketahui bahwa di dalam suatu persekutuan di mana Kristus mempersatukan
<br />umatnya maka kehidupan dapat berjalan dengan baik sekali tanpa adanya
<br />pemisahan seperti ini. Tetapi di negara kami yang didirikan atas ajaran agama,
<br />maka setiap segi kehidupan sosial kami menggunakan tolak ukur ajaran-ajaran
<br />agama dan tafsiran-tafsirannya.
<br />
<br />Dalam kehidupan kota, dampak pemisahan ini lebih banyak dirasakan dan makin
<br />jelas bagiku dibandingkan dengan yang kurasakan di Jhang, karena Jhang
<br />terletak di pedalaman dan masih jauh lebih terbelakang dibandingkan dengan
<br />kota. Sebahagian dari diriku berfungsi sebagai penilai, bagiannya yang lain
<br />menikmati kesenangan- kesenangan masa lalu bersama teman-teman wanita,
<br />bercakap-cakap sesama wanita tanpa diganggu oleh kehadiran seorang pria pun.
<br />Hatiku tenang rasanya mendengarkan semua cerita yang terperinci mengenai
<br />siapa yang kawin dengan siapa, anak mana yang sakit dan yang mana yang
<br />sehat, apa yang dipelajari mereka di sekolah serta jurusan pekerjaan apa yang
<br />mereka ambil. Kini gadis-gadis juga mengikuti pendidikan, beberapa diantaranya
<br />malah ke perguruan tinggi, namun kemudian menghadapi kenyataan bahwa
<br />bidang pekerjaan bagi mereka tidaklah mudah diperoleh dan tidak selamanya
<br />disenangi.
<br />
<br />Seorang anak perempuan nantinya dapat menjadi seorang dokter wanita atau
<br />guru bagi anak-anak perermpuan atau pun menjadi perawat. Makin sulit bagi
<br />mereka untuk masuk ke lingkungan kerja bersama para pria seperti di kantor.
<br />Namun untuk menahan agar anak-anak perempuan tetap belajar di rumah,
<br />makin sulit rasanya bagi para keluarga karena begitu banyak pemuda yang
<br />menunda-nunda perkawinannya selama mengikuti pendidikan di luar negeri.
<br />Selalu ada kontradiksi antara syariat agama dengan kepentingan duniawi,
<br />seperti yang terjadi sebelum ini. Nah, masalah-masalah ini sekarang dihadapi
<br />oleh banyak keluarga– mereka menyalahkan pengaruh barat yang telah
<br />mengikis tolak ukur yang telah ada dan mengalihkannya sehingga berubah
<br />menjadi cara yang lebih dipilih untuk mendapatkan kebahagiaan – memetik
<br />impian yang paling muluk, masa depan yang terbaik bagi anak-anak lelaki mau
<br />pun perempuannya.
<br />
<br />Saya mendengarkan dengan lebih sadar daripada dulu bahwa impian-impian
<br />seperti itu merupakan kuncup-kuncup yang mudah retak, dengan mudah dapat
<br />diterbangkan dengan angin kencang. Tekanan-tekanan semacam itu tidak akan
<br />mudah terhapus. Waktu itu kami menyadari betapa sulapan logika kehidupan
<br />dapat berproses menjadi suatu ledakan terhadap logika agamawi bila keadaan
<br />seperti ini terjadi berkali-kali dalam skala yang besar.
<br />
<br />Anis menyatakan jalan pikiranku ini dalam kata-katanya yang sederhana,
<br />"Mereka cemas tentang masa depan anak-anaknya, tapi bagi mereka sendiri
<br />kemanakah tujuan hidupnya?" Baginya, suatu kehidupan yang tidak memiliki
<br />tujuan yang pasti tanpa Kristus seringkali merisaukannya. Merasakan kembali
<br />duduk-duduk pada kedua sisi ‘prudah’ menunjukan kepadaku betapa kuat dan
<br />mantapnya dasar yang telah kutemukan dalam hidupku. Kebahagiaanku kini
<br />tidaklah tergantung pada terpenuhinya ambisi pribadiku, tapi terletak pada
<br />melakukan kehendak Tuhan. Karena itu tidak sesaatpun saya membiarkan diriku
<br />membayangkan bahwa masa tenang ini akan berlangsung terus, dan memang
<br />begitulah yang terjadi.
<br />
<br />Dalam bulan Nopember kuketahui bahwa iparku untuk periode tertentu akan
<br />pergi ke Lahore, karena urusan dagangnya.
<br />"Kita semua harus pergi," kata Anis, "dan kita harus tinggal di rumah Alim
<br />Shah." Saya kaget mendengar berita ini, " Baiklah tapi maaf, saya tidak dapat
<br />ke Lahore bersamamu, saudara kita Alim Shah berkata kepadaku bahwa pintu
<br />rumahnya tertutup bagiku karena saya telah mengingkari agama Islam."
<br />Wajah kakakku merengut seperti seorang anak yang mau menangis, "Saya
<br />memerlukan doamu dan saya juga memerlukan bantuanmu. Jika Alim Shah
<br />tidak mau menerimamu maka saya akan menyewa bungalow lain dan saya akan
<br />tinggal bersamamu."
<br />"Dan apa tindakan suamimu nanti, saya rasa ia akan menceraikanmu." Saya
<br />memeluknya dan setuju untuk pergi bersama mereka. Kami akan melihat
<br />bagaimana penerimaan kakak lelakiku nantinya terhadapku.
<br />Jadi, pada tanggal 28 Nopember jam 4 sore, kami berangkat dengan sebuah
<br />mobil dan barang – barang diangkat dengan truk.
<br />"Saya sangat senang berjumpa denganmu. Kau diterima dengan senang di
<br />rumahku, selamat datang." Yang berbicara ini adalah kakakku Alim Shah. Saya
<br />tidak mempercayai pendengaranku, seolah-olah pembicaraan yang tidak
<br />menyenangkan hati di telepon tidak pernah terjadi. Keluarga itu menumpang
<br />sementara bersama Alim Shah sampai mereka mendapatkan sebuah rumah.
<br />Saya mendapat sebuah kamar enak dan seorang pembantu diberikan kepadaku
<br />untuk membantuku. "Saya tahu kamu mempunyai kawan-kawan di sini",
<br />kata kakak lelakiku dengan tak terduga sama sekali, "kepada sopirku sudah
<br />kukatakan agar membawamu ke mana saja yang kau kehendaki."
<br />Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dengan hangat, tapi dalam hatiku
<br />saya merasa tidak tenang, hal itu rasanya terlalu baik untuk menjadi kenyataan.
<br />
<br />Ketika hari Minggu tiba, saya meminta sopir membawa saya ke gereja
<br />Methodeist di jalan Warris. Pendeta menjabat tanganku di depanku dan jemaat
<br />menyambutku dengan cukup ramah, tetapi tidak ada yang menyapa, Apa
<br />Kabar? Kemana saja selama ini? Apakah anda memerlukan sesuatu? Karena itu
<br />saya tidak menceritakan pada seorang pun tentang kesulitanku tetapi
<br />mempercayakannya kepada Tuhan seperti biasa untuk pemecahannya.
<br />Empat bulan kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, saya sedang berdoa di
<br />kamarku sambil duduk di kursi dengan Alkitab terbuka di lututku. Saya
<br />mendengar bunyi gerakan kaki dan membuka mataku. Di seberangku, Almin
<br />Shah sedang memperhatikanku dengan tersenyum. Ada suatu tekanan perasaan
<br />terbersit padaku dan entah mengapa saya sampai membayangkan Harimau
<br />pada waktu itu.
<br />
<br />"Kuharap engkau merasa bahagia di rumahku," katanya dengan suara yang
<br />sangat mengasihi."Kuharap engkau merasa cocok dengan Istriku dan senang
<br />dengan anak- anakku. Kuharap para pembantu tidak menyebabkan suatu
<br />masalah apapun atasmu."
<br />"Saya sangat bahagia di sini ," jawabku sepenuh hati.
<br />"Kami sangat mencintaimu, dan kami mau kau tinggal bersama kami untuk
<br />kebaikan kita. Sebenarnya saya sedang mengurus pembangunnan sebuah
<br />bungalow bagimu di Goldberg (tempat ini adalah bagian tepi kota yang modern
<br />bagi golongan yang cukup kaya, letaknya kira-kira 10 km dari sini). Ia
<br />melanjutkan, "Dan saya ingin agar kau turut berlibur denganku. Bulan depan
<br />saya akan berkunjung ke tempat-tempat bagi umat Islam… Mekah, Medinah.
<br />Maukah kau turut bersamaku?
<br />Ia sedang menggodaku, saya teringat akan …….." Semua ini akan kuberikan
<br />kepadamu jika,…." ( Matius 4 :8-9 ).
<br />"Saya tidak berkeberatan pergi bersamamu, tetapi hal ini tidak akan merubah
<br />iman percayaku," jawabku.
<br />
<br />Seakan-akan saya tidak berkata apa-apa, ia mengambil Alkitab dari pangkuanku
<br />dan melihat ke halaman-halamannya yang terbuka, "Yang kuhendaki darimu
<br />untuk semua yang akan kuberikan kepadamu ialah buku ini. Berikanlah Alkitab
<br />itu padaku dan saya akan membawanya ke depot Lembaga Alkitab sehingga kau
<br />tidak dapat membacanya lagi, dan berhentilah ke gereja, maka akan kuberikan
<br />kepadamu apapun yang kau kehendaki."
<br />
<br />Dengan nyaring saya menjawab, "Mazmur 119:115, "FirmanMu itu pelita bagi
<br />kakiku dan terang pada jalanku". Inilah adalah Firman Tuhan dan Ia
<br />memberitahukan padaku perbedaan antara yang benar dan yang salah, saya
<br />tidak akan memberikannya kepadamu......ini adalah bagian dari hidupku." Saya
<br />melihat bahwa ia menjadi marah. Dengan cepat kutambahkan, "Saya tidak
<br />dapat berhenti untuk pergi ke gereja karena disitulah rumah Tuhan. Pengantin
<br />wanita sudah hampir siap sebab mempelai lelaki sudah hampir datang. Dan
<br />barangsiapa menyangkal Aku didepan manusia, Aku juga aka menyangkalinya di
<br />depan Bapaku yang di Sorga (Mat. 10:33)."
<br />
<br />Ia melompat berdiri. Dilemparkannya Alkitab itu padaku, "Sebelum matahari
<br />terbit, tinggalkan rumahku, aku tidak sudi melihat mukamu lagi."
<br />Perangkap telah diberi umpan dan disentuh, tidak ada seorangpun yang datang
<br />mendekatiku malam itu, saya berbaring dengan perasaan berat, besok paginya
<br />tercipta suatu suasana yang tidak menyenangkan sama sekali. Kakak lelakiku
<br />tidak kelihatan, tidak ada berita tentang Anis atau suaminya. Pelayan hanya
<br />meletakkan sarapan begitu saja lalu pergi diam-diam. Dengan sedih saya
<br />mengemasi koporku dengan 4 atau 5 baju yang dijahit Anis untukku, pakaianpakaian
<br />yang indah-indah yang dihadiahkan Alim Shah kutinggalkan karena ia
<br />telah berpesan, ‘jangan membawa sesuatu apapun dari rumah ini’. Koporku ada
<br />di gang dan saya berjalan ke sana ketika saya melihat Safdar Shah datang. Saya
<br />belum lagi berjumpa dengannya sejak saya meninggalkan Jhang, tapi ungkapan
<br />kata-kata bagi pertemuan yang membahagiakan langsung sirna ketika saya
<br />melihat apa yang dibawanya adalah sebuah bedil. Dia memegangku
<br />dipergelangan tangan dan menarik saya ke lantai dasar rumah itu.
<br />"Duduk disitu dan jangan bergerak," perintahnya.
<br />
<br />Saya mematuhinya. Jika dirangsang, Safdar Shah dapat menjadi kasar. Ia pergi
<br />memanggil Alim Shah. Di rumah itu keadaan sunyi sekali, suasana diliputi
<br />ketakutan, kakak-kakakku lelaki turun ke bawah, wajah mereka keras dan
<br />mantap. Jantungku berdebar-debar dan kakiku lemah seperti jerami rasanya,
<br />tetapi saya tetap duduk di atas sebuah sofa, berusaha untuk tetap tenang.
<br />Kakak-kakakku duduk menghadapi saya pada seberang meja. Saya mencoba
<br />memandang ke arah matanya yang penuh kebencian, tetapi mereka sedang
<br />melihat ke bagian dalam dirinya seakan-akan tidak sadar akan pandanganku.
<br />Safdar Shah mengoperkan bedil itu kepada Alim Shah, "Selesaikan kutuk
<br />keluarga ini!" perintahnya. Alim Shah menggenggam popor bedil dua laras itu
<br />dan dengan perlahan mengangkatnya dan dibidikkan ke kepalaku. Ia berkata
<br />dengan suara putus asa yang lemah, "Mengapa kau mau mati? Yang perlu kau
<br />perbuat hanyalah mengatakan bahwa kamu tidak lagi mengakui nabi Isa itu
<br />sebagai Anak Tuhan dan bahwa kau akan berhenti ke Gereja. Kau akan
<br />kubiarkan hidup, karena aku tidak akan menembakmu!"
<br />
<br />Wajahnya kelihatan tegang dan kurus dibalik laras bedil itu dan saya melihat
<br />betapa ia ditempatkan pada suatu keadaan terpaksa - cintanya kepadaku
<br />berperang melawan segala sesuatu yang telah diajarkan ayahku kepadanya.
<br />Bagikupun merupakan suatu saat yang sangat tidak menyenangkan. Saya telah
<br />dididik untuk menghormati kakak- kakak lelakiku sebagaimana diajarkan pada
<br />gadis-gadis Islam. Saya belum pernah membantah mereka sampai Yesus masuk
<br />dalam kehidupanku dan saya berusaha untuk tidak berkata kasar pada mereka
<br />karena saya tahu bahwa saya dapat menyadarkan diriku pada cinta kasih
<br />mereka, kesopan-santunannya serta perlindungan mereka jika kuperlukan.
<br />Dalam hal inipun Ayahku telah memberikan pada mereka suatu perintah
<br />keramat untuk menjaga saya. Tapi tentu saja beliau tidak memperhitungkan
<br />kemungkinan terjadinya suatu krisis seperti ini. Saya sedang mengoyakkan
<br />semua ini dengan pertentangan-pertentangan antara tugas dan cinta. Tapi saya
<br />tidak boleh mundur. Saya tidak dapat berpaling lagi, juga pada saat ini.
<br />"Dapatkah kakak menjamin bahwa jika kakak tidak menembak saya maka saya
<br />tidak akan mati? Dalam Al Qur’an ditulis bahwa begitu seseorang dilahirkan ke
<br />dunia, dia pasti akan mati. Jadi, silahkan tembak saya tidak takut bila saya mati
<br />dalam nama Yesus Kristus. Dalam Alkitabku tertulis, "Ia yang percaya padaku,
<br />walaupun ia mati, namun ia akan hidup" (Yoh. 11:25).
<br />
<br />Safdar Shah berkata dalam keheningan, "Kau tidak mau membunuh si murtad ini dan bertanggung jawab atasnya. Ia telah menjadi suatu kutuk bagi kita. Lemparkan dia keluar!"
<br />
<br />Mereka mendorong saya ke depan sambil menaiki tangga. Saya mengambil koporku di gang dan berjalan menuju pintu. Kakak-kakak lelakiku berjalan kembali dengan gontai menuju ke bungalow. Setiap senjata yang ditempa terhadap engkau tidak akan berhasil, dan setiap orang yang melontarkan tuduhan melawan engkau dalam pengadilan, akan engkau buktikan salah. Inilah yang menjadi bagian hamba-hamba TUHAN dan kebenaran yang mereka terima dari pada-Ku, demikianlah firman TUHAN". Saya tahu dimana saya pernah membacanya (Yes.54:17), tapi saya tidak menyadari kalau Firman itu begitu tepat pada kenyataannya.
<br /></div>BASIC DIFFERENCES BETWEEN ISLAM AND CHRISTIANITYhttp://www.blogger.com/profile/09801109624760374141noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7799902781390742074.post-24171653337730044312011-08-29T02:09:00.000-07:002011-08-29T02:09:00.153-07:00LILIN YANG MENYALA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">"Ya Bapa, kemana saya harus pergi?"</span>
<br /></div>
<br />Saya berdiri sendiri di jalan Samanabad sambil berusaha menahan air mata karena goncangan dan kepedihan pada peristiwa yang baru kualami, lalu memandang ke atas ke bawah mencari petunjuk tentang tindakan apa yang saya ambil berikutnya. Namun, sepanjang jalan besar itu sepi dari lalu lintas dan keadaan deretan bungalow sepi di belakang dinding-dinding tinggi disinari cahaya matahari tipis dan tidak menunjukkan kehidupan mewah di belakangnya. Rasanya, secara refleks saya berbalik kekanan lalu mulai berjalan menelusuri trotoar yang dilapisi semen menuju kearah penantian bis yang jauhnya hampir 2 km.
<br />
<br />Waktu tiba di sana, hatiku sudah bulat - John dan Bimla Emmanuel, seorang tukang kebun di kantor walikota, tinggal di Medina colony bersama istri dan 4 dari 5 anaknya. Keluarga ini menjadi jemaat dari Gereja di jalan Warris. Mereka pernah mengajakku ke rumahnya sekali atau dua kali dan saya merasa senang di sana, bercerita pada mereka tentang Tuhan dan Kuasa menyembuhkan dan menyelamatkannya.
<br />
<br />Mereka pernah berkata padaku, "Datanglah ke rumah kami setiap waktu, rumah kami terbuka bagimu." Di tempat perhentian bis ada beberapa jenis transportasi, saya menggunakan rickshaw (sejenis becak) ke Muzang Chungi dan dari sana dengan minibis yang trayeknya Gurumangat. Dari sini berjalan kaki sedikit melintas rel kereta saya tiba di Medina Colony. Saya memilih berjalan sepanjang lorong yang bekas dilewati roda, berabu, di antara rumah-rumah. Menghindari got-got terbuka yang mengalir ke arah sebuah ‘houdi’ atau tempat penampung kotoran manusia di dekatnya. Di rumah John Emmanuel, saya memegang ujung ‘kunda’ yang tergantung di luar dan mengetukkannnya ke pintu kayu berlapis ganda di dinding yang tinggi itu.
<br /><a name='more'></a>
<br />Tak lama kemudian Bimla membukanya, menatapku dengan heran lalu mempersilahkan saya masuk. Kuceritakan sedikit padanya tentang apa yang sudah terjadi dan memohonkan bantuan untuk memondokkan sementara. Ia melihat saya sedang gemetar lalu memelukku, "Anda diterima dengan hati yang sangat terbuka untuk tinggal bersama kami dan apapun yang kami miliki, andapun dapat turut menikmatinya bersama-sama."
<br />
<br />Ketika John Emmanuel pulang sore harinya dengan sepeda, ia mendengarkan ceritaku dengan prihatin. "Jangan kuatir, saya adalah saudaramu dalam Kristus," katanya meyakinkan saya. Pikirku, betapa anehnya perasaan ini dapat kurasakan terhadap seseorang yang bukan anggota keluargaku dan kehangatan terasa mengalir mendengarkan ke prihatinannya. Ternyata, persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya pada Kristus dapat mengikat pengikutpengikutnya dengan ikatan yang lebih kuat dari ikatan darah atau hasil perkawinan.
<br />
<br />Rumah yang mereka sewa itu kecil, terdiri atas sebuah kamar tidur dan serambi. Pada satu sisi serambi ini ada dapur dan di sisi lainnya kamar kecil. Saya mengira-ngira dimana saya akan tidur, nyatanya bersama anak-anaknya, yang sulung 8 tahun, di serambi. Tempat ini ditutup dengan gordin sehingga berubah menjadi sebuah kamar dengan hawa yang lebih sejuk. John dan Bimla tidur di halaman dan hal ini biasa di lakukannya kalau rumahnya kecil dengan keluarga besar. Tidak ada rumput atau bunga-bungaan - tidak ada tempat untuk menanam sesuatu apapun. Dasar halamannya tanah liat yang keras bercampur jerami, dibersihkan dengan baik sehingga merupakan bagian tambahan dari rumah itu. Tapi ada tanaman di dalam pot-pot untuk menyemarakkan tempat itu. Akomodasi yang sederhana dibanding dengan kesenangan yang saya tinggalkan tapi rasanya hatiku senang sekali memiliki perasaan bebas untuk mengambil Alkitabku dan membacanya secara terbuka serta mengadakan persekutuan doa dan mempelajari Alkitab bersama John dan Bimla. Untuk dapat sampai ke tahap ini saya malah sudah menantang maut. Walaupun begitu, di malam pertama, sambil tidur di atas ‘charpai’ di bawah selimut pada udara terbuka, saya tidak dapat tidur karena belum terbiasa dengan keadaan sekelilingku sebab pikiran-pikiranku menerawang dan adanya bunyi-bunyi di malam hari yang menggangguku.
<br />
<br />Di daerah itu orang-orang cepat tidur agar dapat segera bangun sebelum matahari terbit guna mempersiapkan perjalanan mereka ke kota untuk bekerja. Namun, sewaktu kesibukan sehari-hari dan bunyi-bunyian pompa air berhenti, keadaan menjadi sunyi senyap lalu diganti oleh bunyi lain yang menggelitik saya untuk mencari tahu sumber asalnya. Terdengar bunyi berdenyit dan tikus-tikus berlarian di belakang rumah-rumah itu saluran gotnya buruk sehingga terjadi genangan-genangan air tempat kodok berkelompok bergembira ria bersahut-sahutan dengan ributnya dan jangkrik bernyanyi di semak-semak. Tidak ada kelambu untuk melindungi diriku dari dengungan nyamuk yang menari-nari dengan tebalnya di sekelilingku. Bunyi gemerisik kecil di atas atap jerami membuat saya berpikir-pikir apakah cecak atau kakarlak yang mungkin akan jatuh menimpa kepalaku. Saya merasa iri pada anak-anak yang tidur dengan eloknya. Suara napasnya yang lembut menjadi lebih keras dan makin saya campur adukan bunyi-bunyi ini, kedengarannya laksana deburan ombak di kejauhan. Saya berusaha menutup telingaku rapat-rapat dan mengalihkan pandanganku ke langit cerah yang terlihat olehku dari bawah atap serambi. Saya mencoba agar dapat tidur dengan cara menghitung bintang yang berkedip-kedip namun malah hanya membuat saya lebih tidak bisa tidur lagi. Lalu bulan yang sendirian muncul ke panorama pemandanganku, memandikan sekitarnya dengan cahaya misterius yang begitu dicintai oleh para penyair dan orang-orang yang dilanda asmara. Lalu angin yang sombong laksana ‘Nawab’ yang merasa iri, dengan sombongnya mengumpulkan awan-awan yang tadinya masih tercerai berai menutup bulan itu dari pandangan mata yang masih merindukannnya. Saya menikmati pemandangan bulan dan bintang-bintang yang menari-nari di angkasa melewati penggantian waktu dan merasakan goncangan dan kesedihan atas berlalunya hari yang menuju kesuatu titik tujuan yang lebih pasti.
<br />
<br />Saat ini merupakan bagian dari waktu dimana saat-saat kehidupan campur-baur
<br />yang berlangsung selama kehidupan ini. Saya melihat diriku sendiri, Gulshan
<br />Ester, miskin dan dibenci oleh orang-orang yang seharusnya mencintaiku dan
<br />telah berpaling dari pintu rumah mereka, kini telah bebas dari beban-beban
<br />yang merintangi. Kerudung kehidupan agamawi yang saya warisi sebelum ini,
<br />yang kurasakan pernah memisahkan saya dari satu Allah yang tidak dapat
<br />diketahui oleh seorang pun telah dikoyakkan, diungkapkan dalam wujud Yesus
<br />Kristus, Tuhanku. Sekarang jalan pemuridan telah terbentang dan apakah
<br />menyenangkan atau menyakitkan, harus kujalani dalam ketaatanku. Tapi saya
<br />tidak sendirian. Ada satu yang menyertai saya, saya kuat dan akan memenuhi
<br />semua kebutuhanku.
<br />
<br />Dengan rasa mengantuk saya menatap ke langit yang memudar warnanya
<br />menelan bintang-bintang dan menampilkan bintang pagi, kebanggaan fajar.
<br />Sambil memikirkan Yesus, Fajar Pagi Pengharapanku yang diutus Tuhan untuk
<br />menerangi hidupku, akhirnya saya tertidur pulas tanpa terganggu apa pun walau
<br />hanya untuk waktu yang pendek.
<br />
<br />Saya terbangun, mataku berat tertimpa sinar pagi yang cerah, ketika si Gundu,
<br />bocah berusia 4 tahun menarik tanganku. Bahkan ketika saya berusaha untuk
<br />mencuci dengan air dari pompa di halaman, saya terkenang akan pikiran yang
<br />telah terbentuk semalam - saya perlu berpikir untuk mencari kerja sebab saya
<br />tidak dapat mengharapkan bahwa kawan-kawanku dapat bertahan untuk
<br />membiayai saya.
<br />Kepala Sekolah wanita dari sekolah swasta untuk para gadis memandang saya
<br />dari atas ke bawah ketika saya berdiri di kantornya dengan perasaan bingung di
<br />hadapan wanita yang dingin tapi cekatan ini yang memiliki kharisma
<br />kewenangan. Namun saya pun berketetapan hati. Beliau membetulkan syalnya
<br />dan berkata dengan sopan, "Selamat pagi nyonya. Apakah saya dapat menolong
<br />anda? Apakah anak anda bersekolah di sini?"
<br />"Tidak, saya tidak mempunyai anak yang bersekolah disini. Saya datang untuk
<br />mencari tahu apakah ibu membutuhkan seorang guru di sekolah ibu."
<br />Ekspresinya berubah dari sikap sopan-santun karena ingin mencari tahu menjadi
<br />agak merendahkan diri. Terlihat olehku bahwa cara pendekatan langsung seperti
<br />ini dinilai kurang wajar. Sebenarnya saya harus menulis lamaran bukannya
<br />datang sebagaimana seorang pembantu atau tukang kebun mencari pekerjaan.
<br />"Mata pelajaran apa saja yang dapat anda ajarkan dan kwalifikasi apa yang anda
<br />miliki?"
<br />"Saya dapat mengajar bahasa Urdu, pengetahuan agama Islam, sejarah, ilmu
<br />bumi dan matematika sampai tingkat pra-universitas."
<br />Beliau memandangku dengan tajam seakan-akan menyusun pendapatnya,
<br />"Seorang guru yang pandai untuk para gadis," katanya,"namun sayang sekali
<br />lowongan yang ada telah terisi dan saya tidak dapat menerima anda, tapi jika
<br />anda meninggalkan nama dan alamat pada sekretaris, saya akan menghubungi
<br />bila ada lowongan pekerjaan nanti."
<br />
<br />Beliau bangkit dari belakang kursi yang berat kelihatannya untuk mengantar
<br />saya keluar, tapi saya masih saja berdiri, merasa sedih sekali.
<br />"Apakah ibu mungkin tahu kalau ada anak gadis yang memerlukan guru pribadi
<br />di rumah karena sesuatu alasan, barangkali sakit, atau orangtuanya tidak
<br />mengijinkan anaknya ke sekolah?"
<br />"Maaf, saya tidak tahu. Tapi jika saya tahu maka anda akan kuberitahu bila
<br />nama dan alamat anda ditinggalkan pada sekretaris."
<br />
<br />Selama 2 atau 3 minggu saya telah bolak-balik ke kota, melewati Red Fort untuk
<br />mencari kerja, menjajakan kwalifikasiku dari satu sekolah ke sekolah yang lain,
<br />seakan-akan seorang penjaja-keliling. Saya memperoleh alamat-alamat itu dari
<br />Kantor Penempatan Tenaga dan para petugas biasanya terkejut karena
<br />lamaranku. Saya merupakan teka-teki bagi mereka, seorang wanita muda dari
<br />keluarga baik-baik, tangannya terlihat kurang memenuhi syarat untuk bekerja,
<br />ternyata tidak ditunjang oleh keluarganya.
<br />
<br />Berulang kali John dan Bimla meyakinkan saya tentang dukungan mereka tapi
<br />saya tahu bahwa saya merupakan beban untuk seorang yang mempunyai gaji
<br />kecil seperti dia. Jadi saya berdoa memohonkan lowongan pekerjaan dan saya
<br />menelusuri jalan- jalan di bawah terik matahari, sepatuku bolong dan bila timbul
<br />perasaan marah atau kecil hati maka saya teringat pada Yesus dan bagaimana
<br />ia menapak jalan-jalan itu untuk mati di atas kayu salib bagiku.
<br />
<br />Ketika untuk keempat kalinya saya pergi ke Kantor Penempatan Tenaga, saya
<br />mendengar bahwa sebuah majalah mingguan yang berkantor di pasar Ol
<br />Anarkali membutuhkan seorang wartawati. Saya tahu nama Anarkali, bunga
<br />delima, sama dengan nama seorang pahlawan wanita yang terkenal dalam
<br />sejarah kami. Dia dipakukan secara tragis ke tembok hidup-hidup oleh seorang
<br />‘mghul’ (kaisar) padahal ia tidak bersalah. Si wanita itu jatuh cita dengan
<br />saudara sedarahnya bernama Salim. "Seorang gadis malang dan sedang
<br />menghadapi bahaya," pikirku dan mencoba mengingat apakah terdapat gejala
<br />untuk menerima hukuman seperti wanita itu. Mungkin tidak karena ia adalah
<br />anak kaisar tersebut.
<br />Majalah itu pernah kulihat, seingatku mempunyai 4 halaman, ada gambargambar
<br />berwarna dari orang-orang terkenal dan agak berbau politik. Keadaanku
<br />yang sulit, membuat saya kuat dan memohon untuk diwawancarai. Besoknya
<br />jam 10 pagi saya datang ke lantai satu di kantor majalah itu di Old Anarkali.
<br />Penerbitnya berperawakan tinggi, lelaki yang tampan berkulit terang memakai
<br />jas hitam yang tidak tebal dan sangat sopan.
<br />"Silahkan duduk," katanya sambil menunjuk ke sebuah kursi yang terletak agak
<br />jauh dari mejanya yang mengkilap diatas permadani berbentuk segi empat. Ia
<br />membunyikan bel dan meminta minuman pada seorang pria muda yang datang
<br />membawakan coca-cola dingin bagiku. Minuman ini dihidangkan dalam sebuah
<br />botol di atas jerami. "Saya ingin tahu kenapa anda membutuhkan pekerjaan,"
<br />katanya dan giginya yang putih kelihatan waktu tersenyum.
<br />Saya menjawab, "Saya yatim piatu dan saya berpendidikan. Saya ingin
<br />mendapat gaji sendiri." Sebuah pena dengan ujung emas di atasnya dimainmainkannya,
<br />dan tercium bau harum olehku mungkin dari parfum ‘after shave’
<br />yang dipakainya.
<br />"Tapi ceritakan padaku", katanya, "kenapa kakak-kakakmu tidak membantumu
<br />agar anda tidak perlu bekerja?"
<br />"Oh mereka semua telah bekerja dan tinggal di rumahnya masing-masing dan
<br />saya tidak mau menjadi beban bagi mereka karena itulah saya memerlukan
<br />pekerjaan."
<br />
<br />Ia juga ingin tahu ke mana saya telah melamar dan kuceritakan padanya lamaran- lamaranku untuk mengajar yang menemui kegagalan. Cahaya yang menembus gorden bercorak kota-kotak tipis menimpa wajahku waktu kami berbicara dan saya melihat bahwa ia sedang melihat padaku dengan cermat.
<br />
<br />Lalu ia berketetapan hati tentang diriku, perasaanku cukup cepat.
<br />"Anda dapat mulai besok. Datanglah antara jam 08.30 dan 09.00 pagi dan jangan kuatir saya akan memberikan padamu beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan waktu melakukan wawancara. Anda harus bekerja keras dan bekunjung ke rumah- rumah atau kadang-kadang ke sekolah-sekolah."
<br />"Saya cukup berpengalaman mengunjungi rumah-rumah orang," pikirku, tapi
<br />tidak kuutarakan.
<br />Ia menjelaskan bahwa gaji pokokku sebesar 100 rupee sebulan. Jumlah ini akan
<br />ditambahkan pendapatan yang diperoleh dari para wanita yang membayar untuk
<br />wawancara pribadi. Prinsipnya ialah jika mereka membayar maka mereka bebas
<br />mengutarakan apa yang akan dikatakannya. Saya mendapat 20% dari jumlah
<br />itu. Ini merupakan sistim yang lebih menguntungkan mereka dibanding dengan
<br />bagianku, tapi saya tidak punya kekuatan untuk tawar menawar.
<br />"Anda bukan beragama Islam," katanya.
<br />Lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. "Saya beragama
<br />Kristen," jawabku, lalu menunggu cukup lama rasanya dengan berdebar selama
<br />ia merenungkannya.
<br />
<br />Akhirnya sambil memasukkan pena ke kantung jasnya ia bangkit dari kursinya
<br />dan berkata, "Baiklah, bukan masalah besar. Anda kelihatannya terpelajar
<br />seperti yang anda katakan dan tidak takut berhadapan dengan orang lain." Ia
<br />membawa saya ke kantor penerbit dimana diperkenalkannya saya dengan tiga
<br />wartawan, seorang juru potret dan seorang penata tulisan. Saya diberi meja
<br />sendiri. Ada sebuah ruangan ketiga, tempat kami makan siang - diberi cumacuma.
<br />Yang bertugas disini ialah seorang ‘charpase’ atau pesuruh yang
<br />mengerjakan beberapa pekerjaan kasar, mengirim/menerima surat-surat, tugastugas
<br />pesuruh lainnya, mengambil makanan siang dan menyiapkan minuman.
<br />Besok pagi saya tiba untuk bekerja pada jam yang ditentukan dan menghadapi
<br />rekan- rekan sekerjaku. Saya satu-satunya wanita diantara 7 pria, tapi jika saya
<br />sudah takut lebih dahulu maka ketakutan itu tidak beralasan - mereka semua
<br />sangat menghormatiku dengan sebutan ‘Ba-ji’ (saudara perempuan). Dalam
<br />waktu 4 hari saya berusaha mempelajari segala sesuatu sedapat-dapatnya
<br />termasuk 10 pertanyaan yang disodorkan. Saya bertekad untuk sukses.
<br />Saya segera mengetahui bahwa berita-berita digodok di ruang berita, diperiksa
<br />penerbit sebelum diserahkan kepada penata tulisan untuk mengatur cetakannya
<br />ke dalam bahasa Urdu di atas lembar-lebar kertas yang lebar. Lalu penerbit
<br />akan memeriksa hasil kerja tersebut guna meyakinkan bahwa tidak ada
<br />kesalahan sebelum masuk ke percetakan. Salah satu tugasku ialah membantu
<br />bapak penerbit memeriksa hasil kerja si penata huruf sebelum dikirimkan ke
<br />percetakan. Kadang-kadang saya harus menemani si pesuruh ke kantor pos
<br />untuk membawa atau mengambil bungkusan-bungkusan. Apabila kirimankiriman
<br />majalah yang baru dicetak diterima maka saya bertugas melipat dan
<br />membubuhkan alamat-alamatnya. Saya menjadi terbiasa dengan label-label dan
<br />perekat serta merasa senang mempelajari tugas-tugasku yang baru ini sambil
<br />menunggu dengan perasaan was-was untuk melaksanakan wawancaraku yang
<br />pertama kali.
<br />
<br />Jadwalnya ialah mewawancarai seorang istri bekas Menteri Luar Negeri yang
<br />telah berhenti dari tugas pemerintahan karena ada kesulitan pribadi dengan
<br />Perdana Mentri Bhutto. Hal ini berarti bahwa pertanyaan yang kuajukan haruslah
<br />sedemikian agar sedapat mungkin tidak mengganggu nyonya itu - namun si
<br />penerbit meyakinkan padaku bahwa nyonya itu mungkin malah akan merasa
<br />senang bila diajukan pertanyaan yang sulit. Seperti biasanya,beliau benar.
<br />Nyonya itu menerimaku dengan sangat ramah di ruang duduk pribadinya dan
<br />mempersilahkanku duduk. Saya teringat akan pertemuanku dengan nyonya
<br />yang sopan dulu namun akhirya menjebloskan saya ke penjara. Saya mengakui
<br />bahwa sekarang saya merasa puas dapat menjadi salah seorang anggota massmedia
<br />yang mempunyai kemampuan lebih besar dibandingkan dengan di waktuwaktu
<br />lampau.
<br />
<br />Kini saya menjadi seorang penyelidik. Kuajukan 10 pertayaanku satu demi satu.
<br />"Kenapa suami ibu berhenti? Apakah ibu senang atas keputusan yang diambil
<br />beliau? Dimana ibu mendapat pendidikan?" Dan seterusnya. Pertanyaanpertanyaanku
<br />tidak terlalu tajam namun dengan mengajukannya kepada
<br />seorang wanita oleh wanita lain serta hasilnya akan dibaca oleh beribu-ribu
<br />wanita lain di seluruh negeri telah memberikan pertanda adanya perubahanperubahan
<br />yang sedang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu.
<br />Altaf si juru potret menemani saya bersama yang lain pada wawancara itu. Jadi
<br />saya merasa yakin akan adanya perlindungan dan ia pun sangat gembira dapat
<br />bertemu dengan para wanita. Setengah dari masyarakatnya masih tersembunyi
<br />dari pandangan dan diperlukan sebagai milik pribadi oleh separuh bagian
<br />lainnya.
<br />
<br />Suatu pemikiran modern yang merayap masuk perlu menjalani perjalanan
<br />panjang untuk mengimbangi tradisi yang masih memisahkan pria dan wanita
<br />dalam satu bentuk genggaman yang kuat, baik di kalangan orang kaya dan
<br />terpelajar demikian pula di kalangan miskin dan awam. Dalam hal-hal lain Astaf
<br />juga berfaedah. Sesekali nyonya itu memakai bahasa Inggris waktu menjelaskan
<br />tentang kehidupannya. Ini membuat saya kikuk sebab oleh larangan kuno
<br />ayahku maka saya tidak dapat berbicara dalam bahasa ini merupakan ciri-ciri
<br />dari tingkat masyarakat dan pendidikan yang telah diterima maka saya
<br />memerlukannya. Tapi dengan pelan kawanku menterjemahkannya bagiku. Ia
<br />juga memikirkan mengenai pertanyaan lain untuk diajukan, bila pikiranku masih
<br />menerawang. Ketika semua pertayaan selesai diajukan, nyonya itu bertanya
<br />tentang diriku, "Sampai dimana pendidikanmu?"
<br />"Cukup untuk mewawancarai nyonya," jawabku.
<br />Beliau tertawa, "Jarang kita dapat bertemu dengan seorang wanita yang benarbenar
<br />terpelajar," katanya.
<br />
<br />Ketika diterbitkan ternyata tulisanku telah dikoreksi dengan baik oleh penerbit.
<br />Namaku ditulis Gulshan di bawah judulnya. Beliau tidak menambahkan namaku
<br />yang kedua "Esther". Nyonya itu membayar 700 rupee dan saya menerima 140
<br />dari jumlah itu.
<br />Saya menyerahkan 100 kepada John Emmanuel dan menyimpan yang 40. Pada
<br />mulanya tuan dan nyonya rumahku tidak mau menerima uangku tapi saya
<br />memaksanya.
<br />"Kami sangat berbahagia atas pertolongan Tuhan bagimu," kata mereka.
<br />Ya, saya pun merasa bahagia juga. Untuk pertama kalinya dalam hidupku saya
<br />berhasil memperoleh gajiku sendiri dengan memanfaatkan pendidikan yang
<br />kuterima. Tanpa terasa, ingatan kemarahan dari wajah kakak-kakak lelakiku
<br />mulai menghilang ke latar belakang.
<br />Pada kesempatan lain saya mewawancarai seorang Kepala Sekolah wanita SMA
<br />gadis-gadis di Lahore. Saya merasa gugup sebelum ke sana karena takut
<br />membuat kekeliruan dengan pertanyaan-pertayaanku di depan wanita yang
<br />pandai, memiliki wibawa laksana sebuah ‘burka’ layaknya, namun si juru potret
<br />Altaf menguatkan hatiku, "Katakan padanya bahwa anda menginginkan beliau
<br />menjelaskan tentang segala sesuatu sehingga dapat dimengerti para pembaca.
<br />Lalu dengarlah baik-baik dan catat semuanya. Jangan takut mengajukan
<br />pertanyaan sederhana - kebanyakan pembaca anda tidak mau kalau anda
<br />bertindak terlalu pintar."
<br />
<br />Nasihat ini baik sekali. Saya duduk di sana dengan penuh kesederhanaan dan
<br />mendengarkan kuliah Kepala Sekolah itu tentang perbedaan antara sekolah
<br />swasta dan sekolah pemerintah. Keuntungan menyolok yang kuperoleh dari cara
<br />padang Kepala sekolah itu kelihatannya ialah beliau merasa dapat bertindak
<br />lebih bebas- dibawah pemilik sebelumnya beliau terlalu didikte dalam banyak hal
<br />sehingga biaya pendidikan sangat meningkat. Satu aspek yang merugikan
<br />sekarang ialah fasilitas yang tersedia makin sedikit. Sebagai tambahan atas
<br />informasi ini saya menulis tentang ruangan itu, kondisi sekolah di mana kami
<br />diajak mengadakan peninjauan dan melihat pemunculan gadis-gadis yang
<br />bersekolah di sana.
<br />Si juru potret sangat menyenangi wawancara ini karena ia diminta memotret
<br />banyak obyek termasuk para gadis di sana. Mereka tampil dengan cantiknya
<br />dalam ‘Shalwar kameeze’ nya yang putih dengan ‘dopatta’nya berwarna biru,
<br />inilah pakaian seragam mereka dan kupikir bahwa pengalaman ini sangat
<br />menarik karena gadis-gadis itu sering cekikikan sambil menutup mulutnya
<br />dengan ‘dopatta’nya.
<br />
<br />Penerbit mengomentari tulisanku dengan "lumayan". Beliau bukanlah orang
<br />yang mudah merasa puas. Tiga hari kemudian saya kembali ke sana sesudah
<br />tulisanku dicetak untuk mengambil sisa pembayaran yang belum dilunaskan ke
<br />majalah kami - pewawancara selalu mendapatkan uang panjar sebelumnya.
<br />Saya menemui kepala sekolah yang kini memandangku dengan rasa ingin tahu
<br />sebab rupanya ia dapat mengetahui sedikit tentang kisahku yang diceritakan
<br />oleh salah seorang stafnya yang beragama Kristen. "Kenapa anda pindah
<br />agama? Dapatkah saya membantu agar anda kembali ke iman Islam-mu?" kata
<br />kepala sekolah itu. Jadi di depan stafnya saya bercerita sedikit tentang hal ini.
<br />"Anda bersikap hati-hati dan imanmu teguh" katanya. Kekuatiran-kekuatiranku
<br />mulai hilang sebab tidak ada kesulitan yang timbul terhadap apa yang kutulis.
<br />Lama kelamaan saya merasa bahwa pekerjaan menjadi lebih mudah dan mulai
<br />terbiasa melihat namaku dicetak menyertai tulisan-tulisanku. Suatu perasaan
<br />aneh timbul bila kupikirkan bahwa tulisanku dibaca di seluruh Pakistan dan
<br />mungkin memberikan aspirasi bagi para wanita muda sambil menunjukkan
<br />bahwa salah seorang kawan sejenisnya dapat berbuat sesuatu. Dan bagi saya
<br />yang menjadi contohnya, memiliki cara pemikiran dan ambisi yang menjurus ke
<br />arah yang berbeda sama sekali yaitu untuk melayani Tuhan dan melakukan
<br />kehendakNya. Jadi, mengapa saya di sini, bekerja di majalah ini - suatu
<br />pengalaman yang lain sama sekali dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Jalan
<br />pengabdian ibadahku telah membawaku ke sini, tetapi untuk alasan apa? Hal ini
<br />adalah suatu teka-teki silang dan biasanya saya tidak terpengaruh oleh teka-teki
<br />ini dan hidup seadanya dari hari-kehari menelusuri 2 bagian terpisah dari
<br />hidupku, yang di luar dan di dalam, kehidupan bekerja dan kehidupan berdoa.
<br />
<br />Namun, rekan-rekanku wartawan lainnya menyadari bahwa saya berbeda
<br />dengan mereka. Setelah kira-kira 2 minggu mereka dapat mengetahui bahwa
<br />saya beragama Kristen, walau pun tidak diketahuinya bahwa sebelumnya saya
<br />memeluk agama Islam. Mereka menggodaku tentang kepercayaan ini - anda
<br />percaya pada tiga Tuhan, katanya sambil tertawa. Seharusnya saya mencoba
<br />menjelaskan bahwa tidaklah demikian, hanya ada satu Tuhan dengan tiga
<br />manifestasinya - Bapa, Yesus Kristus anak Tuhan dan bukan hanya seorang nabi
<br />saja serta Rohulkudus yang diturunkan pada hari Pentakosta untuk memenuhi
<br />orang-orang percaya dengan kehidupan Kristus, mengajar dan menyucikan
<br />mereka. Tapi sejak kanak-kanak, mereka telah diajar dan ditanamkan untuk
<br />berpikir bahwa agama Kristen telah merendahkan kemurnian yang percaya
<br />bahwa Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, jadi sekarang bagaimana saya dapat
<br />merubah jalan pikiran mereka ini?
<br />
<br />Selama ini kuperhatikan bahwa tidak ada seorang pun di kantor itu yang
<br />melakukan sembahyang Azhar (sianghari) dan saya sangsikan sampai berapa
<br />dalam iman mereka terhadap kepercayaannya. Ruangan-ruangan kantor itu
<br />dibagi oleh papan-papan tripleks tebal dan si penerbit biasanya menghentikan
<br />godaan-godaan itu seraya masuk ke ruangan kami menyuruh kawan-kawanku
<br />diam dan berkata, "Jangan menggodanya. Ia hanya satu-satunya wanita dan
<br />anda tidak boleh berlaku kasar padanya."
<br />
<br />Pada suatu hari saya sedang menuruni anak tangga, jam 4 sore dalam
<br />perjalanan pulang ketika pemilik toko permen di sebelah kantor kami, bapak
<br />Jusuf menyapaku. "Assalam alaikum (kiranya damai turun atasmu)," katanya.
<br />Saya berhenti dan menunggu sampai beliau dekat "wa laikum salaam (kiranya
<br />damai serupa juga turun atas anda)," sahutku. Katanya, "Nyonya, saya telah
<br />memperhatikanmu lewat selama ini dan kupikir anda tentulah seorang terpelajar
<br />untuk dapat bekerja di majalah itu. Saya sedang mencari seorang guru bagi
<br />ketiga anakku dan saya berpikir apakah kiranya anda menaruh minat untuk
<br />mengajar hal ini dan membicarakan tentang biaya untuk memberi pelajaranpelajaran
<br />itu."
<br />
<br />Saya ragu-ragu. Gaji yang kuterima di majalah itu tidaklah besar, karena saya
<br />hanya bertugas sekali atau dua kali sebulan, tidak sama dengan rekan-rekanku
<br />pria yang berdinas luar setiap waktu malah sampai ke luar Lahore. Saya
<br />memasuki rumahnya bersamanya dan diperkenalkan dengan istri serta ketiga
<br />anaknya dan kami langsung dapat saling menyukai satu sama lain lalu
<br />menetapkan tentang urusan mengajar tersebut. Saya akan mengajar bahasa
<br />Urdu, matematika, agama Islam, sejarah dan Ilmu Bumi kepada anak-anak itu
<br />di luar jam sekolahnya dua jam sehari dari jam 4 sampai 6 sore. Saya meminta
<br />upahnya 150 rupee per bulan dengan makan malam tiap hari. Saya tidak akan
<br />datang pada hari Minggu. Pengaturan baru ini membawa akibat. Saya harus
<br />berpisah dengan kawan-kawanku yang baik hati di Medina Colony, sebab hari
<br />akan malam sebelum saya tiba di rumah dan bagi seorang wanita tidak aman
<br />berjalan sendirian di waktu malam hari. Ada banyak pencopet dan dan penculik
<br />di kota ini - kini saya menjadi cukup mengerti dengan sisi kehidupan jahat ini
<br />sejak pengalamanku di penjara tempoh hari. Jadi saya tiggal bersama Bapak
<br />dan Nyonya Neelam. Alamatnya : Jalan Warris, dekat gereja tak jauh dari Old
<br />Anarkali. Saya mengenal Bapak Neelam waktu bekerja di "Sunrise" ketika beliau
<br />menjadi guru musik di sana.
<br />
<br />Sampai bulan Desember saya sudah menulis 8 atau 9 cerita semuanya dari
<br />‘Gulshan’ atau kadang-kadang pelapor wanita kami dan saya merasa bahwa si
<br />penerbit senang dengan hasil-kerjaku,. Pada minggu kedua bulan itu saya
<br />dipanggil ke kantornya. "Anda telah melaksanakan pekerjaan lebih baik dari
<br />yang kuduga," katanya. Saya ingin mempertahankan anda di sini, namun ada
<br />satu hal yang perlu dibereskan jika saya mengambil tindakan tersebut - anda
<br />harus kembali ke iman Islam-mu."
<br />
<br />Saya duduk menjadi kaku seperti batu layaknya. Ia melanjutkan, "Sekarang
<br />ceritanya kuketahui kenapa anda beragama Kristen. Namun, dengar baik-baik,
<br />jika kakak-kakakmu tidak membantumu, saya akan membantumu - hanya
<br />lepaskan kekristenanmu. Tidak, dengarkan anda dapat tinggal di rumahku. Anda
<br />akan menjadi pimpinan para wartawan. Saya akan mencari wartawati lain dan
<br />pendapatan yang akan anda terima seluruhnya perbulan berjumlah 1000 rupee.
<br />Karena desakan perasaan waktu menerima kenyataan ini saya bangkit setelah
<br />memahami tujuan pembicaraannya. Orang ini berhubungan dengan Alim Shah -
<br />mungkin mereka berkawan, pergi ke klub yang sama. Rupanya beliau telah lama
<br />tahu tentang diriku dan dengan sabar menunggu kesempatan baik ini. Hal ini
<br />merupakan ulangan cerita lama yang sama."Tunjukkan padanya betapa besar
<br />cinta-kasih satu sama lain di kalangan kita maka mungkin ia akan kembali lagi
<br />karena ia memerlukannya, daripada bekerja untuk dapat hidup dan tinggal
<br />menumpang dengan orang lain." Dan saya, karena merasa begitu senang
<br />dengan kemajuan-kemajuan penulisanku telah gagal memperhitungkan kenapa
<br />orang ini telah menerima seseorang seperti saya yang belum berpengalaman?
<br />
<br />Dan kapankah mereka dapat diyakinkan bahwa saya tidak mau kembali lagi?
<br />Saya mengeluh.
<br />"Janganlah bapak berpikir bahwa saya tidak merasa berterima kasih atas
<br />tawaran bapak. Saya sangat ingin bila dapat terus bekerja disini namun saya
<br />harus mengutarakan bahwa saya tidak dapat melepaskan kekristenanku. Yesus
<br />adalah kehidupan bagiku. Apa yang saya dapatkan di dalam Dia, tidak dapat
<br />diberikan oleh agama lain."
<br />
<br />Beberapa waktu kemudian, di hari yang sama, istrinya masuk menemui saya
<br />dalam perjalanannya ke toko di Old Anarkali - menurut hematku adalah
<br />merupakan usaha terakhir untuk merubah pikiranku. Beliau memanggil saya
<br />masuk kantor suaminya
<br />ketika bapak penerbit sedang sibuk membaca hasil cetakan di ruang wartawan.
<br />"Anda cukup pandai" katanya. "Kenapa anda beragama Kristen"
<br />Pengungkapan ini menyedihkan hatiku. Bagi yang berfaham fanatik dianggapnya
<br />yang beragama Islam itu bodoh karena mempercayai suatu dusta.
<br />Saya memahami bahwa wanita ini tidak memiliki penghayatan dan pendalaman
<br />rohani dan saya merasa tidak perlu untuk mengungkit-ungkit mengenai hal ini
<br />lagi. Dengan lembut saya menjawab, "Ibu tidak akan dapat mengerti terhadap
<br />tahapan yang telah saya capai sekarang. Tuhan begitu nyata bagi saya."
<br />Beliau memandang dan wajahnya kelihatan tegang. Nyonya itu berlalu tanpa
<br />berkata sepatah kata lagi. Pada akhir jam kerja, bapak penerbit memberikan
<br />padaku sebuah amplop berisi uang sebesar 125 rupee di dalamnya.
<br />"Maafkan saya" katanya. "Namun anda tidak dapat meneruskan bekerja di sini
<br />lagi. Istriku dan saya sendiri memohon maaf dan menyesal karena anda harus
<br />pergi. Kami akan tetap mengingat anda."
<br />"Saya pun memohon maaf dan merasa sayang, namun Tuhan akan memberikan
<br />pekerjaan lain bagiku," kataku dengan tegap, namun dalam hatiku sebenarnya
<br />jauh dari berani.
<br />
<br />Bapak penerbit itu kelihatan jelas bergumul dengan perasaan kemanusiaannya
<br />karena sewaktu saya berjalan menuju pintu beliau berkata, "Jika anda merasa
<br />melarat saya akan membantu, namun masalah iman ini tetap ada."
<br />"Jangan kuatir", jawabku. "Tuhan akan menolongku. Sebelum saya mencari
<br />pertolongan pada manusia, terlebih dahulu saya akan mencari pertolongan pada
<br />Tuhan."
<br />Dan saya meninggalan kantornya. Para wartawan yang lain tidak senang atas
<br />kepergianku. "Anda telah begitu lama bersama kami dan sekarang anda pergi
<br />hanya karena masalah agama yang sepele itu. Oke, Nabi Isa itu telah
<br />menyembuhkan engkau - kenapa anda tidak membayarkan sejumlah uang saja
<br />dan dengan begitu persoalannya beres?"
<br />
<br />"Dia jauh lebih berarti bagiku daripada sekedar hal yang demikian itu", jawabku dan saya berjabatan tangan dengan mereka. Kemudian saya pergi dan menuruni tangga dengan perasaan dingin, kepalaku pusing disebabkan oleh guncangan pengusiran ini, tepat pada waktu saya baru mulai merasa aman dari serangan-serangan yang khusus seperti ini. Setibanya di luar saya bersandar ke dinding untuk menenangkan diriku. Tentunya ada satu alasan mengapa saya menjalani semua pengalaman yang menggoncangkan ini. Di dalam hatiku saya berseru kepada Bapaku di Surga dan Dia langsung memberikan jawaban dengan kata-kata yang menghiburkan. "Makin bertambah harimu berlalu maka kekuatanmu pun makin bertumbuh. Bukankah Aku telah memberi perintah kepadamu?" Saya tidak menyadari bahwa di hadapanku telah terbentang Tanah Perjanjianku yang Istimewa dan bahwa saya sedang dipersiapkan untuk masuk ke dalamnya.
<br /></div>BASIC DIFFERENCES BETWEEN ISLAM AND CHRISTIANITYhttp://www.blogger.com/profile/09801109624760374141noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7799902781390742074.post-14656696172767618242011-08-26T02:06:00.000-07:002011-08-26T02:09:16.397-07:00BERSAKSI<div style="text-align: justify;">"Ada seorang tamu untukmu di sini," kata nyonya Neelam di pagi hari tanggal 30 Desember dan saya melongok ke atas dari bacaanku melihat-lihat. Rupanya Bapak Gill, seorang tua-tua dari Gereja di FOREMAN CHRISTIAN COLLEGE yang membawakan sebuah undangan untukku. Beliau langsung mengutarakan maksudnya.
<br />
<br />"Pendeta Arthur dari gereja METHODIST, FOREMAN CHRISTIAN COLLEGE, ingin megundang anda untuk berkhotbah pada pelayanan Tahun Baru nanti. Anda dapat membawakan berita apa saja yang digerakkan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?"
<br />
<br />Untuk sekejap saya tidak dapat menjawab. Foreman Christian College adalah sebuah tempat besar dan gereja tersebut biasanya penuh dengan orang-orang berpengaruh. Bagaimana saya dapat berdiri di depan jemaah seperti itu dan berkhotbah? Saya hampir merasa mau menolak di kala teringat sesuatu yang difirmankan Tuhan padaku malam itu, "Pergilah dan saksikanlah kepada umatKu."
<br />
<br />Ketika saya disembuhkan, Yesus telah memerintahkan saya untuk melakukan hal ini, tapi waktu itu saya belum siap. Namun, visi yang penuh kegemilangan cahaya itu telah memancar dengan terang sekali di jalanku, mengajar saya untuk mengenal Tuhan melalui FirmanNya dan dengan Iman. Apakah udangan ini yang datang tanpa disangka-sangka merupakan tanda bahwa saya telah siap untuk memberikan kesaksian ke pada Gereja mengenai apa yang telah saya alami dengan Berkat dan Kasih SetiaNya padaku? Sekarang saya memahami bahwa jika sesuatu keperluan untuk melakukan tindakan telah matang maka beberapa faktor akan saling menunjang- kesempatan terbuka, suatu bisikan suara terdengar lalu terasa adanya suatu kedamaian di dalam hati serta keyakinan bahwa waktu untuk bertindak sudah tiba.
<br /><a name='more'></a>
<br />Saya memandang ke arah si pembawa berita itu.
<br />"Saya akan datang" kataku, "namun bagaimana saya kesana?"
<br />"Anda sangat diharapkan untuk datang dan tinggal bersama istriku dan saya besok malam di rumah kami di Wadat Colony. Alamat itu dekat dengan gereja dimaksud dan dari sana kami akan membawa anda ke kebaktian pada hari Tahun Baru." Kamla Neelam sependapat dengan usul ini dan diatur bahwa Bapak Gill akan datang menjemputku besok pagi untuk pergi ke rumahnya. Saya akan datang dan berusaha mengumpulkan ingatanku untuk ujian yang akan datang ini.
<br />
<br />Besok malamnya di ruang tamu nyonya Gill, ketakutan menyelimuti diriku
<br />sewaktu saya merenungkan apa yang harus kulakukan. Perasaan sombong, rasa
<br />mau menonjol- nonjolkan diri ke muka..... saya begitu ingin memberikan suatu
<br />kesan yang baik.
<br />
<br />Sambil berlutut akhirnya saya mengungkapkan khayalan ini dengan berkata,
<br />"Bagaimana caranya saya memberi kesaksian tentang Engkau ya Tuhan?
<br />Bagaimana saya dapat melukiskan tentang diriMu?" Baiklah, kedengarannya
<br />bodoh barangkali. Apa sebenarnya yang saya perlukan? Pemunculan yang suci
<br />dan keramat yang sama lagi? Segera setelah pikiran itu kuungkapkan dengan
<br />kata-kata saya menyadari betapa naifnya bagiku untuk merasa kuatir tentang
<br />hal-hal seperti itu. Dalam keheningan pikiranku dengan kerendahan hati di
<br />hadapan Hadirat Tuhan, saya mendengar suara yang tenang dan lembut,
<br />"RohKu akan menyertaimu." Sukacita mengalir dengan derasnya. Cukuplah
<br />kiranya janji itu bagiku.
<br />
<br />Tidak kusangkal bahwa hal ini merupakan pengalaman yang pertama dalam
<br />hidupku di mana saya harus berhadapan dengan hadirin sebesar itu. Para guru,
<br />gurubesar, perawat, dokter dari Rumah Sakit Kristen di dekatnya - semuanya
<br />berpendidikan tinggi dan yakin akan dirinya. namun saya merasakan suatu
<br />kuasa yang tumbuh di dalam diriku ketika saya memberikan kesaksianku
<br />tentang penyembuhanku dan menceritakan tentang berkat-berkat Tuhan padaku
<br />melalui begitu banyak pengalaman yang menyedihkan. Para hadirin diam
<br />terpaku, mengikuti setiap kata-kataku dengan matanya yang tidak lepaslepasnya
<br />memandang padaku.
<br />
<br />Sewaktu saya turun dari mimbar orang-orang datang menemuiku dan
<br />mengatakan betapa kesaksian itu memberi makna dan berharga bagi mereka.
<br />"Kesaksian itu memiliki kuasa", ucap satu atau dua orang. "Kami malah tidak
<br />menyadari waktu berlalu," kata beberapa orang dengan air mata berlinang di
<br />pipinya. Para wanita datang dan berkata, "Anda telah begitu banyak menderita
<br />seorang diri." "Biarlah kami pun turut berpartisipasi untuk menanggungnya
<br />bersamamu", dan mereka memberikan alamat-alamatnya kepadaku.
<br />Sebagian dari persembahan itu diberikan padaku dan saya kembali ke rumah
<br />keluarga Gill untuk makan siang. Melalui suatu selubung yang menakjubkan, terkenang olehku kedua kakak lelakiku - bagaimana rasa cintaku bagi mereka bergetar dalam kalbuku dan sekiranya mereka mendengar perubahan baru yang terjadi dalam pengalaman adik perempuan mereka yang telah diusir dan dibuangnya.
<br />
<br />Sebagai kelanjutan dari Khotbah tadi pagi saya diundang untuk berpartisipasi
<br />dalam persekutuan wanita di Gereja secara tetap pada Foreman Christian
<br />College. Ini berarti bahwa saya harus berhenti mengajar di rumah Pak Yusuf dan
<br />berkecimpung dalam pekerjaan yang benar-benar ingin kulakukan dan
<br />dambakan: memberitakan Injil.
<br />
<br />Semua gereja di kawasan itu satu demi satu mulai mengundang saya untuk
<br />berkhotbah dan mereka membayar pembiayaanku. Selama April dan Mei saya
<br />tinggal bersama beberapa teman di Canal Park. Dalam bulan Juni, keluarga lain
<br />membawaku ke rumahnya dan saya di sana sampai hari perkawinan anak lelaki
<br />kakak perempuanku.
<br />
<br />Suatu persekutuan sambil berkemah bagi para wanita akan diadakan selama
<br />musim panas di Muree. Daerah ini letaknya kira-kira 2500 meter di atas
<br />permukaan laut di kaki gunung Himalaya atau 2 1/2 jam perjalanan bus jauhnya
<br />dari Rawalpindi adalah sebuah stasiun lama di pegunungan semenjak kerjaan
<br />Inggris Raya. Sekarang, orang-orang kaya berlibur ke sana untuk menikmati
<br />iklimnya yang lebih sejuk serta pemandangan pegunungan dimana terdapat satu
<br />atau dua puncaknya yang hampir selalu ditutupi salju sepanjang tahun.
<br />Di Muree ada banyak kegiatan Kristen - sebuah sekolah bahasa bagi para
<br />penginjil, sebuah sekolah Kristen bagi mereka atau anak-anak lainnya. Di
<br />sekolah ini, tidak sama dengan sekolah yang ada di dekat permukaan laut,
<br />selalu dibuka selama musim panas dan diberi libur sebulan di musim dingin
<br />ketika salju tebal menutupi jalan-jalan pegunungan yang membahayakan.
<br />Muree juga sangat sibuk pada musim panas dengan perkemahan-perkemahan
<br />dan konferensi-konferensi yang diadakan oleh kelompok-kelompok Kristen dari
<br />seluruh Pakistan. Persekutuan sambil berkemah bagi para wanita di Mambarak
<br />dimana saya telah diundang sebagai pembicara utama berlangsung selama
<br />seminggu pada awal Juni. Saya akan pergi ke Rawalpindi dengan pimpinan
<br />rombongan persekutuan itu yaitu Nyonya Hadayat dengan kereta api dan kami
<br />akan berangkat pada hari jumat jam 4 pagi.
<br />
<br />Namun pada hari kamis pagi kira-kira jam 10, saya menerima berita dari kakak
<br />perempuanku, Samina yang tinggal di Samanabad sedang mempersiapkan
<br />sebuah pesta perkawinan. Anak Lelakinya akan kawin di sana hari Sabtu dan ia
<br />menginginkan saya hadir sebagai tamunya. Anak lelakinya itu sendiri yang
<br />menyampaikan undangan secara lisan di ruang duduk di rumah tempat saya
<br />bertamu. Saya tersenyum padanya. Sejak kecil saya telah memperhatikan
<br />pertumbuhan Mahmud yang akan menjadi harapan keluarganya dan saya ingin
<br />untuk dapat hadir pada pesta perkawinan ini, namun ada halangan besar di
<br />hadapanku.
<br />
<br />Saya memberi pesan balasan secara lisan melalui Mahmud, "Harap sampaikan
<br />pada ibumu bahwa saya sangat mengasihinya. Bagitu juga padamu, tapi saya
<br />tidak dapat datang. Setiap orang akan menentangku karena kepercayaanku dan
<br />kehadiranku hanyalah akan mengganggu suasana yang seharusnya merupakan
<br />hari bahagia bagi kita semuanya. Bukan hal yang baik bagiku kalau datang,
<br />tambahan pula saya pun akan pergi hari jumat menghadiri konperensi di
<br />pegunungan. Saya memohon maaf padamu sekalian karena tidak dapat
<br />memenuhi undanganmu yang penuh kasih ini."
<br />
<br />Keponakanku pergi dengan mengendarai Yamaha-nya, kelihatan murung. Saya
<br />meneruskan persiapanku. Pada jam 2 siang, Mahmud datang kembali, "Bibi,
<br />anda harus menghadiri pesta perkawinan ini. Ibuku berkata bahwa beliau tidak
<br />akan mengijinkan saya kawin jika bibi tidak hadir. Dan saya pun mengharapkan
<br />agar bibi hadir". Dan dimata perjaka yang sudah besar ini terlihat ada air mata.
<br />Saya membuat suatu keputusan yang agak melegakan.
<br />
<br />"Satu-satunya yang dapat kukatakan ialah bahwa saya akan ke bapak dan ibu
<br />Hadayat memintakan pendapatnya. Mungkin masih ada waktu untuk dapat
<br />menghadiri perkawinanmu dan kemudian berangkat dengan bus ke Rawalpindi
<br />pada waktunya yang akan disambung dengan bus berikutnya di minggu pagi."
<br />Wajah Mahmud berseri- seri.
<br />
<br />"Apakah Bibi dapat membonceng di sepeda motor? Saya akan membawa bibi ke
<br />tempat bapak dan ibu Hadayat," katanya.
<br />
<br />Jadi dalam waktu singkat seorang wanita muda membonceng di atas sepeda
<br />motor yang menderu-deru di jalan sambil berpegangan erat pada kemeja
<br />seorang anak muda di depannya.
<br />Ketika kuceritakan pada keluarga Hadayat tentang dilema-ku, mereka langsung
<br />memecahkannya, menasihatkan saya untuk memenuhi undangan tersebut.
<br />"Kesempatan ini merupakan kesaksian," kata mereka, "beberapa dari
<br />keluargamu belum bertemu lagi denganmu setelah anda disembuhkan."
<br />"Benar." Kukenangkan pertemuan yang tidak enak dengan para paman dulu.
<br />Teringat olehku akan tatapan mereka yang keras, melotot dari wajah-wajahnya
<br />yang marah terhadap anak-dara muda yang kurus ini yang berani menantang
<br />adat-istiadat keluarga dan hukum agama. Ini telah terjadi pada pribadi yang
<br />lain. Namun apakah pendapat mereka telah berbeda sekarang? Saya sangsi
<br />kalau mereka telah berubah. Walalupun demikian masih ada satu atau dua
<br />kesempatan untuk bersaksi dan saya mencintai kakak perempuanku serta anak
<br />lelakinya ini. Bagi kepentingan mereka saya akan pergi ke sana.
<br />"Anda benar," jawabku.
<br />
<br />Dan begitu kesulitan tersebut diatasi, bapak Hadayat mencari pada jadwal
<br />harian bus dan kami menemukan bahwa ada bus berangkat dari Badami Bag di
<br />Lahore jam 12 tengah malam hari sabtu yang membawaku ke Rawalpindi pada
<br />waktu yang tepat untuk berganti ke bus yang lain menuju Muree dan tiba disana
<br />dalam waktu yang cukup untuk berbicara pada hari minggu sore di persekutuan
<br />yang pertama bagiku. Keponakanku membawa kembali saya ke rumah di atas
<br />Yamahanya dan berjanji akan datang besok menjemputku dan membawaku ke
<br />pesta kawin itu.
<br />
<br />Jadi, keesokan harinya saya mengambil sebuah tas kerja kecil dan dengan
<br />ditemani keponakanku dengan cara yang istimewa saya berangkat menuju
<br />Samanabad. Pesta kawin itu seperti yang saya ramalkan merupakan suatu
<br />bencana dari awal sampai berakhir. Beberapa keluargaku yang lebih tua
<br />menganggap kehadiranku merupakan pelanggaran langsung dan
<br />membelakangiku bila saya di sekitar mereka. Yang lainnya dimana fanatisme
<br />Jihad-nya tebal, mendebat saya dengan keras sehingga saya hampir tidak
<br />berkesempatan bercakap-cakap dengan kakak-kakakku Samina atau Anis yang
<br />belum bertemu denganku hampir setahun lamanya.
<br />Tumpuan serangan itu ialah "Kenapa kamu percaya pada Nabi Isa sebagai anak
<br />Tuhan?"
<br />
<br />Alkitabku ada dalam tasku tapi saya tidak perlu membukanya kata-kata yang
<br />kuperlukan datang ke bibirku tanpa dapat dibendung dan memiliki kuasa. Saya
<br />menyadari bahwa kesempatan ini mungkin tidak akan kuperoleh lagi, jadi saya
<br />berbicara pada setiap orang yang menaruh perhatian walalupun hanya sedikit.
<br />Perdebatan meningkat dan rasanya saya tidak punya waktu baik untuk makan
<br />ataupun minum. Yang paling marah kepadaku ialah kakak-kakak lelakikku, tidak
<br />terlihat olehku. Safdar Shah tidak datang waktu mendengar bahwa saya akan
<br />hadir sedangkan Alim Shah selalu menjamu para tamu pria dan di luar
<br />jangkauanku. Lama kelaman mereka yang berdebat denganku berkurang satu
<br />per satu dengan sentilan ungkapan seperti, "oh, ia gila, tinggalkan dia" dan
<br />"kami tidak punya hubungan keluarga dengannya, jangan berbicara dengannya".
<br />Tiba-tiba saya melihat waktu sudah jam 11 malam. Saya mendengar suatu
<br />suara berkata, "Engkau akan bersaksi di Muree besok dan kau masih di sini
<br />sekarang." Saya menjadi agak panik dan bergegas ke kamar kakak
<br />perempuanku serta memohon bantuan bila ada orang yang dapat mengantarku
<br />ku ke Badami Bagh. Tapi mobil Samina sedang dipakai tamu-tamu lainnya, Anis
<br />sedang sibuk dengan kaum keluarga suaminya dan beberapa tamu dengan tegas
<br />menolak – saya mendengar seseorang berkata, "Kami tidak mau mencemarkan
<br />mobil kami. Mintalah kepada Yesusmu untuk menolong dirimu." Samina
<br />mendekat dan memegang tanganku – "Gulshan maafkan saya karena tidak
<br />dapat menolongmu. Kenapa kau tidak bermalam dengan kami malam ini lalu
<br />besok kami akan mengantarmu ke stasiun bus?" Sebenarnya usul ini baik
<br />kedengarannya, karena bagi seorang wanita pergi sendirian di malam hari
<br />seperti ini di jalanan mengandung ancaman bahaya. Namun saya merasakan
<br />suatu desakan perasaan yang mendorongku. Saya telah diberi tugas sehingga
<br />saya harus mengusahakan sedapatnya untuk memperoleh jalan keluarnya.
<br />
<br />Lupa berpamitan saya menyelinap perlahan dari rumah yang terang benderang
<br />itu bersama seluruh kesenangan dan rasa amannya lalu berdiri di pinggir jalan.
<br />Awan-awan menyelubungi bulan, rumah-rumah dan pepohonan kelihatan samar
<br />dalam kegelapan. Dahan-dahan sebatang pohon mulberry (bebesaran) mendesir
<br />diatas kepalaku. Dengan gugup saya bergerak dibawah bayangannya."Tuhan,
<br />Engkau telah menyucikan saya. Jagalah dan tolonglah agar saya dapat sampai
<br />ke stasiun bus pada waktunya. Saya serahkan diriku sepenuh-penuhnya dalam
<br />lindungan Tuhan," doaku. Ketika saya mengakhiri doaku, air mata jatuh
<br />berlinang. Saya merasa kehadiran Tuhan di sekelilingku di dalam gelap itu dan
<br />di dalam lingkaran itu saya merasa aman. Lalu dari jauh saya mendengar dan
<br />makin mendekat, bunyi deru mesin sepeda motor dan hampir bersamaan saya
<br />melihat lampu depannya kelap-kelip; cahaya lampu diselubungi kegelapan
<br />malam itu, sewaktu kendaraan itu bergerak menuju ke arahku menelusuri
<br />jalanan aspal. Saya melihat rupanya sebuah rickshaw (semacam becak bertutup
<br />yang dilengkapi mesin). Apakah kendaraan ini sedang membawa seseorang
<br />yang terlambat datang ke pesta kawin itu ataukah pengemudinya akan pulang
<br />setelah bekerja sehari-harian? Sambil berdoa agar orang ini akan berhenti
<br />bagiku, saya melambai-lambai dan kendaraan itu berhenti di samping tempat
<br />saya berdiri.
<br />
<br />"Dapatkah bapak membawa saya ke Badami Bagh secepat yang dapat bapak
<br />lakukan? Saya harus mengejar sebuah sebuah bus yang akan berangkat ke
<br />Rawalpindi selekas mungkin." Saya tidak dapat melihat wajahnya karena ia
<br />memakai semacam penutup kepala, namun ia mengangguk dan saya naik ke
<br />atas kendaran itu dan saya tidak mau mengira-ngira apakah orang ini penjahat
<br />yang akan mengambil keuntungan dari situasi saya.
<br />
<br />Kami bergerak maju, meninggalkan gema deru mesin. Rasanya kami melaju
<br />dengan cepat sepanjang jalan. Sewaktu kami berputar masuk ke Badami Bagh
<br />saya melihat ke jam saya, nyatanya kami menempuh jarak 28 km dalam waktu
<br />5 menit. Pengemudi itu mengangkat tas kerjaku tanpa berkata-kata dan
<br />membawanya ke deretan bus Watan Transport untuk tujuan Rawalpindi. Waktu
<br />ia mendekat, kelihatan berperawakan tegap dan mengenakan sebuah jubah
<br />panjang yang aneh berwarna coklat tua, pikirku mungkin di seorang Pathan
<br />(Indo-Iran).
<br />Tasku diletakkan di bawah tempat duduk depan dan mau berlalu tanpa
<br />menunggu bayaran, sewaktu saya menghentikan dan bertanya, "Berapa ongkos
<br />yang harus saya bayar?"
<br />
<br />Setelah berpaling ke arahku, ia berkata, "Tuhan telah menyuruh saya untuk
<br />menolongmu. Pergilah dengan damai". Lalu ia membalik, pada lipatan leher
<br />jubahnya dan pada lengannya yang berotot saya membaca sebuah kata yang
<br />ditulis dengan huruf mengkilap "PETRUS". Saya berusaha melihat wajahnya
<br />namun saya hanya dapat melihat matanya yang bercahaya.
<br />Air mataku berlinang-linang dan saya terpaksa menghapusnya. Ketika saya
<br />menengok lagi ke arahnya, dia telah menghilang dan tidak mengambil
<br />bayaranku, saya melihat ke sekeliling stasiun bus itu yang pada waktu malam
<br />selarut itu cukup sibuk karena orang- orang lebih suka bepergian di saat itu
<br />dibandingkan dengan di siang hari yang panas, namun yang terlihat ialah para
<br />penumpang bus yang meluruskan kaki-kakinya bersiap- siap melaksanakan
<br />perjalanan panjang. Saya mengambil tempat di tempat duduk berkasur, satusatunya
<br />wanita di bus itu yang bepergian sendirian dan tidak mengenakan
<br />‘burka’ dan saya membayar ongkosnya pada kondektur sewaktu ditagih.
<br />
<br />Kami berhenti selama 1/2 jam di Jhelum untuk beristirahat, di tanda
<br />pertengahan perjalanan dan kemudian berhenti lagi di Gujarkhan. Waktu
<br />mendaki udara rasanya makin dingin menelusuri kaki gunung Himalaya. Waktu
<br />tiba di Rawalpindi jam menunjuk kan 04.45 pagi dan kami mencari jalan
<br />melewati orang-orang yang berdesak-desakkan, sapi-sapi dan kambing-kambing
<br />yang kurus, mobil-mobil, rickshaw, truk, sepeda, dan pedati-pedati agar
<br />mencapai stasiun perhentian bus di Raja Bazaar.
<br />
<br />Cahaya matahari telah memberi warna pada tepi langit di ufuk Timur dengan
<br />sinarnya yang keemas-emasan. Bus untuk tujuan Muree itu lebih kecil, jalannya
<br />pelan dan perjalanan itu sendiri berbahaya melalui jalan pegunungan yang
<br />berliku-liku dan ruang lewat hanya cukup untuk dua kendaraan.
<br />Pada bagian tahun seperti ini, banyak yang memakai jalan itu, ketika padangpadang
<br />tersiram getaran-getaran panas. Kami duduk menghadap ke dalam dan
<br />punggungku menarah ke dinding gunung sehingga saya tidak terpaksa melihat
<br />ke tepi lereng gunung yang berbahaya itu. Pada jam 11 pagi kami mendekati
<br />Muree. Saya turun di pemberhentian bus di depan kantor pos di lereng bawah
<br />kota itu. Saya memberikan tasku pada seorang buruh dan ia menunjukkan
<br />padaku jalan pintas menuju perkemahan Mubarik. Di dekat perkemahan itu
<br />penjaga gerbang melihat kami segera datang menjemput dan mengambil tasku.
<br />Acara kemah bagi para wanita itu merupakan suatu minggu yang
<br />pengalamannya luar biasa bagiku. Ada 30 wanita peserta dari Peshawar, Sialkot,
<br />Karachi, Faisalabad (dulunya bernama Lyallpur) dan Hyderabad. Tuhan telah
<br />menyatakan mujizat kesembuhan di tempat dimana para wanita mengalami
<br />penderitaan.
<br />
<br />Saya bermalam di sebuah gedung bertingkat dua bersama Rut dari Abbotabad.
<br />Ada acara-acara untuk pagi dan malam hari serta waktu-waktu makan lalu
<br />selebihnya bebas namun saya sangat sibuk karena melayani banyak wanita yang
<br />berbicara mengenai beban hidupnya. Seorang guru sebuah Sekolah Pemeritah di
<br />Lahore mengatakan bahwa ia mengalami kesulitan dalam memberikan kesaksian
<br />diantara para ibu non-kristen disana. Kami berdoa bersama dan membicarakan
<br />tentang rasa takut yang dapat menguatkan ikatan kita satu dengan yang lain
<br />dalam situasi seperti itu dan saya mengingatkan dia janji Kristus; "Aku tidak
<br />akan meninggalkan atau membiarkan engkau." Waktu kami berpisah ia berkata
<br />dengan sukacita, "Anda telah memberikan harapan baru padaku untuk
<br />menghadapi segala macam masalah."
<br />
<br />Ketika para wanita pergi, suatu kelompok pemuda datang dari Pelshawar dan
<br />Pendeta Sayed yang mengelola perkemahan itu meminta saya tinggal dan
<br />berbicara di depan mereka. Seorang pengacara muda datang dan mengatakan
<br />padaku bahwa ia bekerja diantara penganut-penganut agama lain dan merasa
<br />malu untuk bersaksi. Saya mengingatkannya akan Mat.10-31 - 33 dan berdoa
<br />bersamanya. Pada hari ke 4 ia datang kembali dan berkata sekarang ia sudah
<br />memiliki keberanian. "Ketakutan sudah lewat". Begitu juga dengan saya. Ia
<br />berkunjung ke tempatku waktu saya akan meninggalkan perkemahan menuju
<br />Rawalpindi dan tinggal dengan keluarga Younis. Saudari Younis sudah pernah ke
<br />Mubarik dan kami membentuk suatu persekutuan. "Datang dan tinggal bersama
<br />kami bila anda ke sini," katanya kepadaku. Jadi itulah yang kulakukan.
<br />
<br />Dari perkemahan-perkemahan itu pelayananku benar-benar mulai dilaksanakan
<br />dengan tekun dan saya pergi ke berbagai tempat berbicara di konferensikonferensi
<br />mengenai cara Tuhan menjamah saya. Saya diundang lagi ke
<br />Mubarik pada tahun pertama itu yaitu awal Juli dimana ternyata kami membagi
<br />satu tempat konferensi bersama orang-orang terkenal di masyarakat Kristen.
<br />Mereka menerima saya sebagai seorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk
<br />melayani. Setiap waktu saya melayani Firman, undangan-undangan mengalir
<br />dari berbagai tempat baik jauh maupun dekat. Orang-orang ingin mendengar
<br />tentag apa yang akan kubawakan - mereka berkata Firman ini menguatkan
<br />mereka dan bahwa itulah pelayanan Firman yang dibutuhkan pada masa-masa
<br />kini.
<br />
<br />Sekarang kesempatan-kesempatan mulai terbuka bagi suatu pelayanan yang lebih luas tapi disaat yang sama saya selalu berpegang teguh pada Yesus. Dari pengalamanku saya tahu bahwa jika banyak berkat maka serangan pun akan mengancam juga. Walaupun begitu, saya tidak mempersiapkan diri secara khusus untuk mengira-ngira secara khusus dari arah mana gerangan serangan itu akan datang.
<br /></div>BASIC DIFFERENCES BETWEEN ISLAM AND CHRISTIANITYhttp://www.blogger.com/profile/09801109624760374141noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7799902781390742074.post-79603373736866873862011-08-17T03:07:00.000-07:002011-08-26T02:04:44.171-07:00Penutup<div style="text-align: justify;">Dari Rawalpindi saya menjelajah ke seluruh Pakistan, berbicara di geraja-gereja dan konferensi-konferensi, begitu juga melakukan pelayanan pribadi pada orang-orang membutuhkan, baik fisik maupun rohani.
<br />
<br />Pada bulan Oktober 1977 saya pergi ke Lahore dan perjalanan ini merupakan jawaban doa dari suami-istri anggota Gereja Methodist di Canal Park yang menyurati saya mengatakan bahwa anak lelaki mereka sakit. "Datanglah dan berdoa untuknya," tulis saudara James. Saya datang berdoa selama dalam perjalanan. Ketika saya tiba di sana anak lelaki itu telah dibawa kembali ke rumahnya dari United Christian Hospital, berangsur-angsur sembuh tapi masih lemah. Lalu Saudara James dan istrinya meminta saya tinggal dengan mereka. Anak-anaknya 5 perempuan dan 5 lelaki dan mereka meminta bantuanku dalam pendidikan rohani anak-anaknya. Akhirnya disepakati bahwa saya akan tinggal bersama mereka, tapi bila diperlukan untuk menghadiri pertemuan/konferensi kemanapun di Pakistan, saya bebas untuk pergi.
<br />
<br />Selama tahun-tahun ini saya hidup dengan iman. Tuhan mencukupkan kebutuhan- kebutuhanku sedemikian limpahnya sehingga orang-orang lain bertanya-tanya apakah ada misi luar negeri yang menyokong saya. Saya berusaha menjelaskan pada mereka bahwa kekayaan-kekayaan surgawi merupakan milik kita bila kita mau percaya kepada Tuhan sepenuhnya. "Saya
<br />telah mempersembahkan kepada Tuhan semuanya - keluarga, rumah, uang, reputasi - dan mempercayakan kepadaNya segala keperluanku. Ketika saya masih di Rawalindi, Anis sampai pada bagian akhir hidupnya di dunia. Kakak perempuanku itu didorong oleh tantangan keluarga untuk tetap sebagai seorang percaya secara sembunyi-sembunyi, meninggal pada tanggal 14 Maret 1977. Saya ada bersamanya waktu dia meninggal, memberikan penguburan padanya. Saya tahu bahwa ia telah menempatkan tangannya pada tangan pribadi yang Memakai Mahkota di puncak tangga dan mengundang Dia untuk memimpin hidupnya ke dalam Hadirat Tuhan.
<br />
<br />Kedua anak perempuan Anis masing-masing berusia 15 dan 16 tahun tinggal bersama pamannya setelahnya karena ayahnya kelihatannya tidak mau menjaga mereka. Beberapa bulan kemudian saya mendapat surat dari keponakankeponakanku meminta padaku apakah mereka bisa datang dan tinggal bersamaku, karena mereka tidak merasa bahagia. Jadi di bulan Oktober saya mengambil alih pengawasan atas kedua keponakanku lalu mereka pindah dan tinggal bersamaku di rumahnya keluarga James.
<br />
<br />Terlalu banyak anak perempuan tinggal serumah dan diwaktu itulah saya berdoa untuk memintaan sebuah rumah bagiku dan tidak menggantungkan diri pada seorang pun kecuali Tuhan. Saya menempatkan kedua gadis itu ke sebuah sekolah khusus untuk para gadis (semacam biara), karena sulit bagiku untuk meninggalkan kedua keponakanku dalam rumah orang lain bila saya sedang melakukan perjalanan. Sekolah tersebut dikelola oleh beberapa suster dan suasana di sana baik bagi gadis-gadis.
<br />
<br />Tuhan menggerakkan beberapa kawan-kawan di Karachi untuk melakukan sesuatu tentang keadaanku yang tidak mempunyai rumah. Mereka merasa bahwa sudah waktunya bagiku untuk mempunyai rumah sendiri dan tidak dapat tinggal dengan orang lain untuk seterusnya. Jadi mereka mengumpulkan dana dan ditambakan dengan uang tabunganku cukup untuk mendapatkan sebuah rumah kecil. Betapa senangnya untuk dapat pulang ke tempat milik pribadi bagi seseorang bila selesai dari serentetan pertemuan penginjilan yang melelahkan di tempat-tempat yang jauh.
<br />
<br />Ketika saya menerima rumah pribadiku pada musim panas tahun 1978, keponakan-keponakanku datang dan tinggal bersamaku. Tapi tidak semuanya berjalan lancar. Saya didakwa di pengadilan atas beberapa tuduhan palsu. Saya memberi penjelasan di pengadilan bahwa dulunya saya seorang yang lumpuh dan telah disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Ia bertanya padaku apakah ada seorang dari keluargaku yang akan menjadi saksi untuk ini. Seorang anggota keluargaku datang ke pengadilan untuk keperluan ini dan membenarkan tentang kisah penyembuhanku serta menceritakan tentang kelakuanku yang baik. Perkara yang dituduhkan padaku itu dibatalkan. Keponakan-keponakanku tidak dapat tinggal lebih lama dengan saya, namun Tuhan begitu baik padaku dan memberikan dua anak angkat perempuan yang manis, seorang anak lelaki beserta kakek mereka, sehingga saya tidak sendirian di dunia ini.
<br />
<br />Dua bulan kemudian sesudah ini, di bulan Juli 1981, saya ke Karachi tinggal bersama seorang kawan di Akhtar Colony, dekat dengan gereja Methodis, ketika saya didekati seorang perawat muda Patricia untuk mengunjungi adik perempuannya Freda, seorang perawat di Rumah Sakit Jinnah. Yang ditakutinya, adiknya dikuasai oleh roh jahat. Katanya, "Adik perempuanku sedang sakit. Ia berteriak-teriak dan ketika roh itu datang dia mulai berteriak-teriak dan mulai memukul-mukul orang."
<br />
<br />Saya menyetujui permintaannya dan kami memakai rickshaw ke rumah sakit, suasana lembab dan menyesakkan napas - tapi hal itu bukan hanya disebabkan oleh udara panas. Freda berdiri di sana, muda, pemalu, kepalanya menunduk. Ia mengenakan pakaian non dinasnya ‘shalwar kameeze’ dan ‘dopatta’. Seringkali ia mengangkat matanya untuk menatapku dengan pandangan tetap dan saya tidak melihat suatu ekspresi di dalamnya.
<br />
<br />Dengan lembut Patricia berkata kepada adiknya, "Ba-ji, ini Sister Gulshan. Beliau datang untuk berdoa bagimu." Tidak ada jawaban dari perawat muda itu. Ia berdiri tidak bergerak-gerak untuk sekejap, lalu tiba-tiba minta diri dan meninggalkan ruangan itu ke kamar mandi di sebelah bawah ruangan itu. Sesudah 15 menit ia pergi, kawanku berkata, "Ia sudah terlalu lama pergi. Saya akan mencarinya."
<br />
<br />Ia kembali menarik-narik adiknya yang enggan itu dengan tangannya. Freda duduk di atas permadani dan saya duduk di atas lengan kursi, merangkulnya agar duduk di dekatku di lantai. Lalu saya menumpangkan tanganku ke atas kepalanya, membuka Alkitabku Mazmur 91 dan membaca dengan nyaring,
<br />
<br />"Orang yang duduk dalam Lindungan Yang Maha Tinggi dan bermalam dalam naungan Yang Maha Kuasa akan berkata kepada Tuhan, "Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Tuhanku yang kupercayai, sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk. Dengan kepakNya ia akan melindungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung, kesetiaannya ialah perisai dan pagar tembok."
<br />
<br />Sampai disini gadis itu mengatupkan matanya. Sambil tetap menumpangkan tanganku di atas kepalanya saya berkata, "Saya perintahkan engkau, hai roh jahat, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus keluar dari gadis ini." Mendengar ini gadis itu berteriak-teriak, "Lepaskan saya! Saya sedang terbakar!"
<br />
<br />Saya berkata, "Lebih baik bagimu kalau engkau terbakar daripada membiarkan si jahat itu membakarmu." Kemudian roh jahat itu berkata dan suaranya berbeda dengan suara gadis itu yang lebih halus, "Aku akan pergi, Lepaskan aku. Aku tidak akan kembali." Gadis itu jatuh ke lantai sewaktu roh jahat itu meninggalkannya dan ia terbujur di sana tidak bergerak-gerak, badannya menjadi lemas. Setelah 10 menit Patricia membantunya berdiri. Ia membuka matanya dan meminta air minum. Setelah minum, saya memintanya datang duduk di sampingku lagi. Kali ini ia membaringkan kepalanya di lututku dan berkata, "Tolong doakan saya lebih banyak lagi. Saya merasa lebih ringan sekarang."
<br />
<br />Saya memintanya mengulangi doa ini, "Terima kasih Tuhan karena saya telah dibebaskan dan sekarang saya menyerahkan hidupku padaMu. Ambillah dan pakailah saya seturut kehendakMu serta berilah saya kekuatan untuk mengiringMu dan tetap setia."
<br />
<br />Kami duduk sampai jam 7 malam ketika makin banyak lagi perawat datang ke ruangan itu. Mereka diberitahu tentang apa yang telah terjadi dan mereka mulai mengutarakan masalah-masalahnya masing-masing, meminta saya mendoakan mereka. Seorang dari antaranya akan menempuh ujian yang ditakutinya. Yang lain mengalami kesulitan di bangsal rumah sakit. Yang ketiga orang-orang tuanya di rumah sedang sakit. Jadi saya berdoa untuk mereka. Harus kukatakan bahwa selama sore dan malam yang panjang ini kami telah makan siang dan minum teh di ruangan itu. Hari itu penuh dengan kegiatan dan ingatan kami rasanya bertambah - dengan cita-rasa lobak cina, potongan-potongan daging sapi, chapatti dan pisang yang kami makan.
<br />
<br />Ketika tiba waktu pulang, Patricia dan saya menggunakan rickshaw kembali ke Akhtar Colony dimana saya menumpang bersama seorang kawan lain. Saya memiliki foto kedua bersaudari yang cantik itu untuk dikenangkan. Mereka benar-benar gadis-gadis yang cantik dan kini mereka bersaksi bagi Yesus di rumah sakit itu.
<br />
<br />Tuhan telah memakai saya dalam menyembuhkan situasi-situasi dimana orang-orang saling bertengkar satu sama lain. Saya mengira bahwa saya telah sangat salah mengerti terhadap diriku sendiri sehingga saya dapat merasakan apakah suatu nyala api dapat disuluti dengan satu perkataan yang benar atau suatu pikiran dengki.
<br />
<br />Karena tidak ada satu gereja yang menopangku maka kami menyerahkan kepada Tuhan untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Kadang-kadang kami bangun di pagi hari tanpa ada makanan sama sekali di rumah. Namun ada hari-hari dimana kami semua memutuskan sebagian karena memang perlu, bahwa hari itu adalah hari puasa.
<br />
<br />Pada keadaan-keadaan ini kami makin dekat kepada Tuhan. Dialah Bapa Kami. Dia mengetahui apa yang terbaik dan Dia tidak pernah mengecewakan kita, hanyalah selama suatu waktu menguji kita. Dalam kemiskinanku, orang-orang ditarik ke padaku. Orang-orang datang, berjalan berkilo-kilometer tanpa ongkos bus untuk pulang dan kami sadari bahwa kami masing- masing memberikan dari kekurangan kami. Mereka datang meminta bantuan rohani tapi bagaimana kami dapat membiarkannya pergi tanpa memenuhi kebutuhan fisiknya juga. "Kamu menerima dengan cuma-cuma, berilah juga dengan cuma-cuma."
<br />
<br />Saya dipanggil ke sisi pembaringan seorang pria yang telah datang dari Inggris yang diserang penyakit Disentri amuba serta ada pembengkakan (Cyst). Kejadiannya di bulan Januari 1981. Saya berdoa untuknya dan menumpangkan tanganku padanya dan ia disembuhkan. Hasilnya ialah saya diundang ke Inggris dan Kanada memberitakan Injil kepada kelompok-kelompok orang-orang Asia dan Inggris.
<br />
<br />Yang paling ditakuti bibiku dulu ketika untuk pertama kalinya saya memberi kesaksian tentang penyembuhanku oleh Yesus ialah bahwa saya harus pergi ke Inggris. Nah.....inilah saya, mengenangkan kembali seluruh perjalanan yang telah di pimpin oleh Bapaku di surga bagiku untuk menjalani sejak pertama kali saya percaya padaNya.
<br />
<br />Saya dapat melihat bahwa perjalanan ibadah haji yang saya laksanakan bersama ayahku merupakan awal kerinduan jiwaku untuk mengenal Tuhan. Proses ini menimbulkan harapan, yang walaupun masih mengecewakan waktu di Mekkah, telah memberikan dorongan dalam diriku terutama sesudah kematian ayahku untuk mencari Tuhan dalam suatu dorongan perasaan yang kuat dan mendesak serta nekad. Saya menadahkan tanganku memohon kepada Yesus si Penyembuh - tanpa mengetahui apa-apa tentang Dia, kecuali sedikit yang saya baca di dalam Al Qur-an - dan saya disembuhkanNya. Sekarang, saya adalah seorang saksi tentang Kuasa Tuhan untuk mecapai saudara-saudaraku dan orang-orang yang tersembunyi di belakang kerudung Islam. Kerudung itu dapat dikoyakkan sehingga mereka dapat memandang Yesus, mendengarkanNya dan mencintaiNya. Sekarang ini saya tidak memerlukan lagi ke lima rukun Islam untuk menopang Imanku. "Kesaksian" ku ialah untuk Yesus, yang disalibkan, mati dan dikuburkan kemudian bangkit dari antara orang mati kedalam Hidup Yang Kekal dan kini hidup di dalam UmatNya.
<br />
<br />Sembahyang (Namaz)ku tidak lagi kepada satu Tuhan yang tidak dapat saya kenal tetapi kepada Satu ceritaNya dapat saya baca didalam FirmanNya sendiri, Alkitab hartaku yang paling berharga, yang ditulis didalam loh hati dan pikiranku, sebagaimana dulunya Al Qur-an bagiku. Persembahan (Zakat)ku tidak lagi merupakan sesuatu bagian melainkan adalah seluruh pendapatanku, karena segala sesuatu yang saya miliki adalah milik Tuhan. Kekayaanku disimpan di atas di surga. Puasaku tidak saya lakukan pada bulan Ramadhan untuk mendamaikan hatiku dengan Tuhan sehingga saya mungkin mendapatkan keyakinan untuk ke Surga, namun saya lakukan dengan sukacita sehingga saya lebih dapat mengenalNya.
<br />
<br />Ibadah Haji-ku ialah perjalanan sepanjang hidup ini. Tiap hari membawa saya makin dekat kepada tujuan - untuk bersama Yesus, Raja Surgawi-ku selamanya. Darah sapi, domba atau kambing tidak akan pernah dapat menghapuskan dosa, tapi kita dapat masuk ke dalam tempat Yang Maha Kudus dan diterima secara sempurna melalui satu jalan dan hidup yang baru, "Melalui Kerudung itu" ialah: DagingNya. Karena Pribadi ini (Yesus) ketika Ia Membawakan Satu Pengorbanan bagi dosa untuk selama-lamanya, duduk di sebelah kanan Tuhan Bapa (Ibrani 10:12). <span style="font-weight: bold;">Itulah YESUS, ANAK DOMBA TUHAN, NABI dan IMAM, RAJA segala RAJA, dan Tuhanku.</span>
<br />
<br /><div style="text-align: center; font-weight: bold;">Selesai
<br /></div></div>BASIC DIFFERENCES BETWEEN ISLAM AND CHRISTIANITYhttp://www.blogger.com/profile/09801109624760374141noreply@blogger.com1